Rabu, 27 Mei 2015

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN KONAWE ZAMAN PRASEJARAH, ZAMAN KERAJAAN HINGGA MASA PERJUANGAN




SEJARAH DAN BUDAYA KONAWE
BAB I
ZAMAN PRASEJARAH

A.     Proses Penyebaran Penduduk Pada Tahap Awal

Salah satu bagian yang paling gelap dan kabur dari sejarah Indonesia adalah babakan prasejarah, demikian pula halnya yang kita hadapi di Sulawesi Tenggara lebih spesifik Suku Tolaki, yang berlangsung sejak adanya manusia yang menghuni daerah ini. Tanpa warisan tulisan dan langkanya peninggalan-peninggalan hasil karya manusia, menyebabkan praktisi kita tidak mengetahui apapun tentang kisah di daerah ini. Namun demikian kita yakin bahwa pada masa sebelumnya daerah ini sudah didiami manusia yang segala kemampuan budinya berjuang menghadapi segala kehidupan.
Keyakinan timbul meskipun tidak ada warisan tulisan yang mereka tinggalkan, dengan jalan memperhatikan dan meneliti warisan visual yang merupakan sumber prasejarah itu, sebagian kecil berupa artefak di permukaan tanah, dan sebagian besar berbentuk barang-barang dalam tanah yang dikeluarkan setelah digali. Sudah barang tentu jumlahnya sangat langka dan tersebar secara sporadik, tidak teratur di beberapa bagian di daerah Kabupaten Kota Kendari.
Secara universal peninggalan yang menjadi sumber prasejarah berupa : (a) tulang-belulang dalam gua (kumapo) atau bukit-bukit, (b) bekas-bekas tempat tinggal, (c) alat-alat seperti kapak batu berupa kapak lonjong yang ditemukan di Desa Puday Kecamatan Wonggeduku Kabupaten Konawe dengan ukuran panjang 15,8 cm, lebar 5,3 cm dan tebal 3,8 cm terbuat dari batuan andesit (batu kecil).
Bentuk lonjong dan berwarna hijau tua, bagian pangkal agak runcing lalu melenur hingga ke bagian pangkal mata tajaman.
Mengenai keadaan manusia prasejarah di daerah ini dari segi data arkeologi masih kurang, hal ini mengungkapkan bukti-bukti yang bersifat  artifak (arkeologis). Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia ribuan tahun yang lalu diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba itu merupakan campuran berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro Melanesoid yang datang dari arah Selatan (migrasi dari Pulau Jawa) dengan ciri khas kapak genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk diskus lonjong dan senang memakan binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui arah utara (migrasi dari Kepulauan Sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan ujung panah yang isinya bergerigi (lihat R. Soekwono, 1973:42), termasuk dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia yang pertama kali dan merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolithikum.
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Sulawesi Tenggara memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Sulawesi Tenggara telah memiliki penghuni tetap sejak zaman prasejarah.
Dalam buku profil provinsi Republik Indonesia dijelaskan bahwa ciri-ciri fisik penduduk asli Sulawesi Tenggara memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari campuran antara bangsa Wedrid dan bangsa Negroid. Penduduk asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku. Suku baru menyusul datangnya gelombang perpindahan ras bangsa Proto-Melayu pada tahun 3000 SM dan Dentro-Melayu pada sekitar 300 SM (Rudini, 1992: 10). Suku bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologisnya. Pada umumnya kehidupan mereka bermigrasi dari arah utara ke selatan secara bergelombang melalui kelompok kecil. Perpindahan itu terjadi kira-kira tahun 2000-500 SM dengan menggunakan alat yang masih sederhana seperti rakit dan perahu bercadik. Jika ditelusuri persebaran manusia dari dilihat dari budaya yang mereka ciptakan seperti gerabah, di daerah ini terdapat gerabah yang memiliki ciri khas, yaitu berlapis merah dan dihiasi dengan cara digores atau dengan menggunakan tatap untuk manara pola-pola hiasnya. Menurut Bellwood (1985 : 246) persebaran gerabah meliputi wilayah Taiwan dan Filipina. Adalah hasil temuan gerabah yang ada di daerah Kalumpung Sulawesi Tengah menunjukkan adanya tipe gerabah yang diduga berasal dari masa bercocok tanam, ini memperlihatkan persamaan dengan gerabah neolitik yang ada di Filipina, sekitar tahun 1500 SM masuk di Sulawesi Utara kemudian tersebar ke selatan melalui Sulawesi Tengah, dari sini kemudian memasuki Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan bagian Timur. Diduga pemilik kebudayaan tersebut adalah suku bangsa yang berkulit kuning seperti Minahasa, Gorontalo, Balantak, Mori, Bungku, Moronene dan Tolaki.
Ditinjau dari segi penggunaan bahasa suku-suku yang mendiami Sulawesi termasuk pengguna bahasa Melayu-Polynesia (Austronesia) sampai sekarang terus berlaku hipotesis Kern (1933-1917) mengenai leluhur rumpun bangsa Melayu-Polynesia (Austronesia) atau ada juga yang menyebut mereka Proto Melayu dan menurut A.L. Kroeber, mereka termasuk ras Mongoloid atau ras kuning. Mereka tersebar luas diantara pulau-pulau, mulai dari Madagaskar di Samudera Hindia sebelah Barat, Indonesia, Vietnam Selatan, Malaysia, Palau, Pulau Mariana di Mikronesia Barat (Bellwood, 1978 : 121).
Kehidupan masa prasejarah orang Tolaki juga dapat dilakukan dengan analisis yang didasari atas data bahasa (Linguistik) dan data artefak (dalam hal ini carbon datang atas arteak neolitik) seperti yang telah dilakukan oleh Bellwood (1978), hasil analisisnya menghasilkan antara lain rekonstruksi tentang persebaran pemakai-pemakai bahasa Austronesia. Dalam rekonstruksi tersebut tampak bahwa pemakai bahasa Austronesia mulai menyebar meninggalkan daerah asal (sekitar Cina Selatan) menuju Taiwan sekitar 4000 SM, sekitar tahun 3000 SM pemakai bahasa ini adalah yang berlayar ke selatan menuju Filipina dan selanjutnya sekitar tahun 2500 SM memasuki wilayah Sulawesi (Tamburaka, 2004 : 180).
Dari berbagai sumber/hasil penelitian mengenai asal-usul dari persebaran orang Tolaki yang dilaksanakan baik oleh para peneliti/penulis barat (para misionaris zending kristen Belanda) maupun para peneliti/penulis Indonesia termasuk pada ilmuan lokal dijelaskan asal-usul orang Tolaki adalah berasal dari daerah Hon Bin, Tiongkok Selatan pada tahun 6.000 SM. Menurut Muslimin Su’ud, berasal dari daerah/wilayah sekitar Tonkin (perbatasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian selatan, setelah melalui jembatan perjalanan dalam rentang waktu yang cukup panjang melewati kepulauan Hiruku Jepang, kepulauan di Filipina Selatan, pulau-pulau yang tersebar rapat di bagian timur Sulawesi dengan menaiki perahu-perahu cadik yang sederhana melalui sungai Lasolo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun pemukiman sekitar danau Mahalona dan danau Matma (1990: 24).
Dijelaskan bahwa dari rombongan awal yang tiba di danau Mahalona dan danau Mathana atau sekitar gunung verbeek inilah, yang kemudian disusul oleh kedatangan rombongan kedua pada 4.000 tahun SM, dan terakhir rombongan ketiga pada 2.000 tahun SM, yang kemudian mendesak rombongan awal yang tiba tadi pada 6.000 SM, yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga mendesak dan menyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang kemudian dari dikenal dengan lahirnya berbagai pecahan suku-suku yang bertebaran di seluruh pelosok bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Sulawesi seperti Suku-suku Toraja, Toba’da, Tomori, Tobungku, To Nsea, To Mohon, To Kia, Tomoronene, Tolaki dan sebagainya.
Sebagaimana yang digambarkan oleh seorang ahli etnografi Belanda Acbert C Kruyt (1992 : xxxiv), dengan menyatakan, “bahwa semua suku-suku bangsa yang ada di Pulau Sulawesi yang menggunakan ponem bahasa “To” artinya “orang” seperti To Luwuk, To Banggai, To Mori, To Nsea, To Mohon,To Bungku, To Moronene, Tolaki dan sebagainya, mempunyai hubungan darah atau asal-usul yang sama yaitu berasal usul dari Moro Filipina Selatan yang sejak 6.000 tahun SM, telah tiba di Utara (sekitar sungai Mekhong) kemudian melanjutkan perjalanan secara bergelombang masuk ke daratan Pulau Sulawesi dari arah Timur dan kemudian karena desakan peperangan, serangan penyakit dan sebab-sebab persaingan lalu terpecah-pecah menyebar ke seluruh arah dan pemukiman-pemukiman dan yang baru itulah kemudian mereka membangun kehidupan kelompok yang melahirkan berbagai perpecahan suku-suku dengan adat-istiadat dan bahasa yang berbeda-beda”.
Sumber historis tersebut di atas juga diungkapkan bahwa Suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku di sekeliling danau-danau Maliti dan di Mori. Bertolak dari penelitian yang kemudian dilakukan oleh C. Kruyt, hampir pasti dapat diterima bahwa Suku Tolaki termasuk suku induk Mori yang dalam perpindahannya dari Utara menuju ke Selatan menempati dan menduduki tempatnya sekarang ini. Pergeseran tempat tinggal ini menyusuri sungai Lasolo yang sumber-sumbernya terdapat di Danau Towuti (Albert C. Kruyt, 1992: 428).
Dalam beberapa tulisan menerangkan bahwa masyarakat (mang) Tolaki secara universal disebut “Tokonawe dan Tomekongga”dalam abad ke-7, kecuali Burhanuddin dalam tulisan sejarah “Sejarah Hindu bermula di Sulawesi” abad  ke-4, bermula dari danau Matana.
Tradisi lisan orang Tolaki menjelaskan bahwa kedatangan rombongan pertama suku bangsa Tolaki berasal dari Utara (pedalaman sekitar danau Matana dan Mahalona) melalui dua jalur yaitu yang melalui daerah Mori, Bungku terus memasuki bahagian Timur Laut Daratan Sulawesi Tenggara dan yang melalui danau Towuti ke arah Selatan dan beberapa lama mereka tinggal di Rahambuu. Dari sana terbagi dua, serombongan mengikuti lereng gunung Watukila lalu membelok ke Barat Daya sampailah di tempat-tempat yang dinamakan Lambo, Laloeha, Silea yang kelak menjadi masyarakat Mekongga, yang serombongan turun mengikuti  kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) dan berkonsolidasi di suatu tempat yang kemudian disebut Andolaki (tim penyusun monografi Sultra, 1974/1075 : 9). Rombongan ini kemudian migrasi dan mendesak orang Tokia, Tomorenene, dan Toaere yang akhirnya tiba di Unaaha. Menurut tradisi pemimpin mereka bernama Larumbesi atau lebih dikenal Tonggoluwuta (artinya penghuni gua tanah).
Sedangkan wilayah  persebaran  orang  Tolaki  telah  diuraian  oleh  Prof. DR. H. Abdurrauf Tarimana, (1985: 37 – 38) bahwa, dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian terpencar ke Utara sungai Routa, ke Barat sampai Konde’eha lewat Mowewe dan Lambo kemudian ada yang sampai di Mekongga, ke Selatan sampai di Olo-olo atau Konawe lewat Ambeikari dan Asinua, dan ke Timur sampai di Latowa sampai Asera. Orang Tolaki yang kemudian menyebar ke wilayah sebelah Timur meliputi wilayah Kendari Selatan di Pu’unggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo serta ada yang menyeberang ke Pulau Wawonii (Ch Pingak, 1963).
Suku Tolaki yang ada pada saat ini hidup di bagian pedalaman di daerah Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari ini disebabkan pada tahun 1908 program pemerintah Hindia Belanda mengatur pemukiman penduduk membuat rumah berhadap-hadapan dengan jalan yang dikenal “tasere” untuk mengisi kampung yang kosong, program ini dilakukan karena sebelumnya kehidupan penduduk suku Tolaki di pedalaman Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari yang berburuh, membuka ladang (mondau) dan memelihara ternak (membiara kadadi).


BAB II

ERA  KERAJAAN

 

KEHIDUPAN  SOSIAL MASA  KERAJAAN  TRADISIONAL (ABAD XV)


A.    Proses Terbentuknya  Kerajaan  Konawe
Bermula dari pengelompokkan-pengelompokkan (O’Kambo) kampung yang dipimpim oleh seorang yang dituakan disebut Tono Motuo, dibantu oleh seorang Posudo, seorang Tolea seorang Mbuowai, seorang Mbusehe, seorang Tamalaki, dan seorang Otudo. Setelah beberapa puluh tahun kemudian atas dasar musyawarah dan mufakat antara kepala-kepala unit pemukiman Tono Motuo, yang saling berdekatan wilayah untuk membentuk pemerintahan dengan wilayah yang lebih luas yang disebut Otobu sekaligus memilih seorang pemimpin yang disebut Pu’utobu yang dibantu oleh seorang Owati. Kelompok inilah yang kemudian berkembang membentuk sebuah wilayah kekuasaan (kerajaan kecil) dan mereka mengangkat sebagai pemimpin dari kalangan mereka (Primus Inter Pares) pemimpin yang dapat melindungi kelompok, seorang raja yang disebut “Mokolele” di beberapa wilayah. Adapun wilayah-wilayah pengelompokkan yang berhasil membangun kerajaan ialah mereka yang berada di Padanggumi atau Kecamatan Abuki sekarang yakni kerajaan Padanggumi yang dipimpin oleh seorang Mokole (raja) bernama Ramandalangi yang bergelar Ndotongano Wonua,  kemudian  mereka yang  berada  di  sekitar daerah  Lasolo atau  pusat pemerintahannya di sekitar pantai Wawolesea  atau Kecamatan Lasolo sekarang, dengan menamakan kerajaan mereka sebagai “Mokolele I Wawolesea” yang dipimpin oleh Atitisima, kemudian kerajaan kecil Besulutu yang berpusat di sekitar Desa Besulutu Kecamatan Besulutu sekarang ini yang menamakan diri Mokolele I Besulutu yang dipimpin oleh Mombeeti, dan konon ada lagi satu kerajaan kecil orang Tolaki yang berdiri di sekitar daerah Moramo sekarang, yang menamakan dirinya Mokolele I Tambosupa.
Kerajaan-kerajaan kecil di atas berada pra Kerajaan Konawe, mereka saling berperang diakibatkan berebut wilayah, pengaruh dan hegemoni kekuasaan, padahal secara genealogis berasal dari nenek moyang yang sama. Akhir dari peperangan kekuasaan tersebut akhirnya yang muncul sebagai pemenang adalah Kerajaan Pandanggumi (Mokole Pandanggumi). Sedang kerajaan yang tiga lainnya mengalami kehancuran/dihancurkan dan ketiga wilayah Mokolele tersebut ditawan, sebagian berhasil menyelamatkan diri, selanjutnya ketiga daerah ini berada di bawah Mokole penguasa Kerajaan Pandanggumi berkedudukan di Abuki (Pandanggumi).
Hal tersebut dijelaskan oleh Asrul Tawulo (1991: 29-30) bahwa kedua kerajaan lainya ( Wonolesea dan Besulutu) telah dikalahkan dan tunduk kepada kerajaan Pandanggumi yang dipimpin oleh seorang raja bernama “ Ndotongano Wonua”, yang berarti penguasa pusat negeri dan mempunyai seorang putra laki-laki yang bernama “Ramandalangi” dengan gelar “Langgai Moriana” (laki-laki yang menghilang entah kemana perginya).
Totongano Wonua berjuang mempersatukan negeri-negeri di sekitarnya yang dalam pimpinan para Mokolele mereka dan memusatkan kedudukannya di Unaaha. Pada periode ini tibalah di Unaaha seorang puteri dari Kerajaan Luwu bernama Wetenriabeng (saudara kembar Sawerigading) yang oleh orang-orang Tolaki diberi nama Wekoila (Monografi, 1974/1975: 10). Wekoila kemudian kawin dengan anak Ndotongano Wonua (Ramandalangi) ini kemudian menjadi Mokolele pertama dalam Kerajaan Konawe (Muslimin Su'ud, 1992). Tradisi lain mengungkapkan bahwa Wekoila berasal dari langit (tomanurung) hal ini hampir semua kerajaan di Sulawesi seperti Gowa, Toraja, Soppeng, Bone juga mengenang Tomanurung.
Mengenai kedatangan Wekoila ini di Unaaha pada abad X (Husein Halik, 1973) tapi oleh Burhanuddin (1997) dikatakan abad XI (1150 M), yaitu pada saat tanah Konawe tinggal satu kerajaan (kerajaan Pandanggumi). Sedangkan Prof. Rustam E. Tamburaka berpendapat bahwa kehadiran Raja Wekoila memegang tampuk pimpinan  Kerajaan Konawe (± 948-968) dianggap sebagai Mokole I Kerajaan Konawe berkedudukan di Unaaha (2004:196)
Berbagai versi tersebut di atas masih perlu penelitian lebih lanjut. Tentang geneologis Wekoila ini (yang dianggap sebagai Mokole More) oleh Muslimin Su'ud (1990) ia berasal dari keturunan raja Kediri yang berkat melalui jalur perkawinannya dengan seorang Raja keturunan Tolaki-Luwu (Pandanggumi-Matana) yang bernama Runda Beli (di tanah Toraja dikenal dengan sebutan Lando Rundun), lalu bersama suaminya (Ramandalangi), bersama-sama membenahi Kerajaan Pandanggumi, dengan merubah nama kerajaan menjadi Kerajaan Konawe sekaligus memindahkan pusat pemerintahan dari Pandanggumi/ Abuki ke ibukota Kerajaan Konawe baru di Unaaha (Kota Unaaha sekarang ini) dalam (Hadriati, 1992: 22).
Adapun istilah “Wekoila” menurut pengertian bahasa Tolaki terdiri dari dua akar kata, yaitu “We” dan “Koila”. We artinya suatu simbol penamaan seorang wanita, sedangkan Koila dalam arti sejenis gading yang kuning kemilau. Dari kisah mengungkapkan bahwa puteri Wekoila datang dari daerah  Luwu yang bersaudara kembar dengan saudara laki-lakinya bernama Sawerigading. Nama aslinya adalah Weteriabeng (Hamid Hasan, 1974, dalam  Muslimin  Su'ud,  (1992: 26).
Setelah Wekoila diangkat diangkat sebagai Mokolele, segera melaksanaan penataan sistem pemerintahan secara teratur dengan mengangkat seorang wati dan beberapa orang Toono motuo (orang yang dituakan). Wilayah kekuasaannya terdiri dari beberapa kampung yang disebut O’kambo, yang dibantu oleh tomalaki (panglima perang), O’tadu (ahli siasat perang), Tolea (penghulu perjodohan), pabitara (juru bicara adat), Mbuakoy (ahli kesehatan), Mbusehe (ahli perdamaian), Posudoho (logistik/ perlengkapan). Ia juga mulai memperkenalkan sistem pembagian kekuasaan berdasarkan sistem kasta dengan membagi masyarakat dalam tiga tingkatan golongan atau struktur sosial yaitu :
1.    Golongan bangsawan (anakia) yaitu Mokolele dan keluarganya, yang berhak untuk diangkat menjadi pemegang kekuasaan memerintah.
2.    Golongan menengah yang berfungsi sebagai aparat pelaksana kekuasaan raja (penyelenggara pemerintahan yang disebut golongan Too mootuo (Muslimin Su'ud, 1990: 146) termasuk Toono ongapa orang kebanyakan (Monografi, 1992: 118). Golongan Toono ongapa inilah oleh penulis memasukkan mereka sebagai rakyat biasa yang berfungsi sebagai rakyat pelaksana pemerintah raja yang disebut Toono dadio.
3.    Dan golongan budak yang disebut O’ata.
Hirarkis masyarakat di atas sekaligus disimbolkan melalui simbol adat Kalosara sebagai perlambang tiga golongan diterapkan sistem kekuasaan pemerintah berlandaskan atas azas kesatuan dan persatuan yang utuh dan terintegrasi antara tiga unsur disimbolkan lilitan rotan berjumlah tiga buah yang dipertemukan kedua ujungnya dalam ikatan simpul tertentu. Untuk mengatur tata kehidupan masyarakat kerajaan dan menjamin supremasi hukum maka ditetapkan hukum adat negeri (sara wonua) yang berlaku pada seluruh wilayah kekuasaan negeri, sara wonua berupa hukum adat di bidang perkawinan (sara ine perapua), hukum adat pertanahan (sara ine wuta atau hohowi ine wuta), hukum ada waris (sara ine petiari’a) dan sebagainya.
Di zaman pemerintahan Mokole More (ratu) Wekoila Kerajaan Konawe telah memiliki wilayah  kekuasaan dengan batas :
·         Sebelah Utara berbatasan dengan Towori dan Mokolele Baebunta (Luwu) dengan tapal batas dari Barat ke Timur, Matana (Matano/sampai laut Banda termasuk Wacya/Pulau Salabangka (Banggai).
·         Sebelah Timur berbatasan dengan laut Banda dan laut Maluku termasuk Menui, kecuali Wawonii belok dari Utara ke Selatan masuk Selat Wawonii terus ke Utara Pulau Muna dan Tiworo.
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo dan Pulau Towea.
·         Sebelah Barat berbatasan dengan teluk Bone, Kolumba, Tolala, Watusemba, dan Nuha tembus Matana serta Kerajaan Luwu dan Mekongga (Muslimin Su'ud, 1992: 27)
Sistem pembagian kekuasaan dan wilayah pemerintahan yang sederhana yaitu atas beberapa o’kambo yang dipimpin oleh seorang Toono motuo, kemudian membagi wilayahnya dalam beberapa pusat pemerintah bawahan yang mengawasi.
Mengenai stuktur/birokrasi pemerintahan Raja Wekoila terdiri beberapa pusat pemerintahan bawahan yang mengawasi beberapa wilayah perkampungan Toono motuo, dengan sebutan Puutobu wonua, pada tingkat Puu tobu (setingkat wilayah  kecamatan), tingkat pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Wekoila, hanya terdiri dari beberapa wilayah mokolele kecil (Puutobu wonua) terdiri dari :
1.    Mokolele Laronii (Unaaha/Puosu)
2.    Mokole Asohi
3.    Mokole Tinondo
4.    Mokole Puriala di Lambuya Selatan
5.    Mokole I Angata di Angata
6.    Mokole I Landono
7.    Mokole I Andoolo/Anggapaaha
8.    Mokole I Lawata di bagian Wiwirano
9.    Mokole I Sambaosu (Walay)
10. Mokole Lanowulu di Tinanggea
11. Mokole Bandaena di Pantai Lasolo (Hadriati, 1993: 26)
Pembagian Kerajaan Konawe dalam wilayah Puutobu wonua (Mokole kecil) yang masing-masing membawahi beberapa okambo (kampung) belum begitu berfungsi secara efektif hingga Ramandalangi dan Wekoila tidak bisa lagi diketahui identitas mereka, sehingga Ramandalangi digelar “Langgai Moriana” artinya raja yang menghilang, sedang isterinya Wekoila disebut “Sangia I Wekoila artinya raja puteri yang menghilang. Peristiwa menghilangnya mereka ini dari tanah Konawe menurut Burhanuddin (1966) dalam bukunya menapak jejak sejarah tomanurung diduga karena dipanggil pulang ke pusat Kerajaan Kediri di Jawa atau ke Tanah Toraja.
Kepergian mereka menyebabkan Kerajaan Konawe mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan antara turunan Kerajaan Luwu-Tolaki kemudian yang memerintah di Kerajaan Konawe adalah merupakan keturunan Raja Wekoila (Dinasti Wekoila).
Menurut Silsilah kerajaan Konawe dikatakan bahwa sesudah pemerintahan Wekoila, memerintah 27 orang Raja sebagai pelanjut dinasti Wekoila, tetapi bagaimana perkembangan kerajaan Konawe pada saat itu belum ada data pendukungnya, hingga akhirnya didapatkan keterangan lisan dari beberapa sumber bahwa pada saat ini kerajaan Konawe dilandah wabah penyakit tibalah seorang laki-laki perkasa dan memiliki kesaktian yang diperkirakan berasal dari luar yang memiliki kesaktian. Onggabo tiba di Unaaha sekitar abad ke-15, Onggabo berhasil membebaskan kerajaan Konawe dari wabah penyakit, mengembalikan penduduk dari pengungsian, beberapa bukti yang dapat ditemukan dari perjalanan Onggabo dalam upaya membebaskan rakyat kerajaan Konawe dari wabah penyakit dan pengungsian adalah ditemukannya bekas jemuran pakaian Onggabo yang telah berubah bentuk menjadi batu dan batu besar bekas mainan “Mekadawu” Onggabo yang dapat ditemukan di perbatasan daerah Kecamatan Amonggedo dan Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe. Setelah berhasil memulihkan keadaan dalam negeri, beliau kembali ke Unaaha dan mengatur kembali pemerintahan kerajaan Konawe.
Pemerintahan Onggabo kemudian digantikan oleh Melamba. Selama masa pemerintahan Melamba, kerajaan Konawe pernah mendapat serangan bajak laut Tobelo. Dikemukakan Tamburaka (1985 : 17) bahwa gangguan keamanan yang dilancarkan bajak laut Tobelo tidak hanya dirasakan kerajaan Konawe tetapi juga kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara. Serangan bajak laut tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan hegemoni Ternate di kawasan Timur Nusantara. Hal ini dapat dilihat pada saat Tobelo menyerang Wonua Sampara pada abad XVI.
Setelah Melamba, maka naiklah Mokole Tebawo menjadi raja di kerajaan Konawe dan membawa kerajaan Konawe mengalami masa kejayaan pada akhir abad XVII dengan menerapkan struktur pemerintahan yang diterapkannya mampu menciptakan stabilitas keamanan dan menjadikan kerajaan Konawe mengalami perkembangan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya yang besar sehingga ia diberi gelar seorang raja termasyhur.

B.    Struktur Pemerintahan Kerajaan Konawe
Diberbagai kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Mataram, Banten, Gowa, Luwu, Buton, Konawe dan sebagainya mempunyai susunan pemerintahan sendiri-sendiri, susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda dan tidak sama keadaannya. Agar mempunyai gambaran sedikit jelas ada baiknya kita uraikan secara singkat susunan pemerintah Kerajaan Konawe.
Kerajaan Konawe diperintah oleh seorang raja yang disebut mokole. Tahta Kerajaan Konawe pernah diduduki oleh seorang wanita bernama Wekoila yang juga disebut “tomanurung”, artinya orang yang turun dari langit atau kayangan. Demikianlah misalnya Kerajaan Bone mengenal beberapa orang raja atau raja perempuan yang terkenal di dalam sejarah. Kita sebutkan antara lain : We Banriagau Daeng Marowa Agung Majang (Ratu Bone yang keempat), We Tenrituppu Matinrowe ri Sidenreng (Ratu Bone kesepuluh) dan seterusnya.
Telah diuraikan bahwa pada masa Raja Wekoila struktur birokrasi pemerintahan sangat sederhana dengan membagi wilayah atau daerah atas beberapa o’kambo setingkat wilayah tobu dipimpin oleh Toono motuo dengan sebutan Puutobu wonua yang bertindak sebagai penguasa bawahan dari pusat negeri wonua Kerajaan Konawe. Wilayah Puutobu wonua membahawi beberapa o’kambo semacam desa (napo).
Menurut Muh. Gazali, dkk. (1992 : 12 – 13) bahwa struktur pemerintahan Wekoila adalah :
-          Toono motuo sebagai penguasa wilayah di bawah kerajaan.
-          Tolea Posudo selaku pembantu Toono motuo dalam konteks sosial.
-          Tamalaki dan atadu mengurus bidang keamanan negara.
Akhir masa kekuasaan Raja Wekoila tidak diketahui secara pasti, namun dari beberapa sumber lisan menyatakan bahwa setelah pemerintahan Wekoila berakhir terjadi kevakuman beberapa tahun lamanya, kemudian berakhir setelah munculnya Onggabo yang menyelamatkan wilayah kerajaan Konawe dari kehancuran. Onggabo adalah seorang laki-laki yang mempunyai perawakan tinggi dan besar. Onggabo berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk membangun kembali kerajaan Konawe dari puing-puing kehancuran.
Onggabo kemudian menyusun kembali struktur pemerintahannya dengan tetap berpedoman pada struktur pemerintahan Wekoila. Pada masa pemerintahan Onggabo, wilayah kerajaan Konawe meliputi daratan Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari yang berada di pesisir pantai dengan pusat pemerintahannya berada di Unaaha. Kerajaan Konawe mulai mengalami puncak perkembangannya pada masa pemerintahan Mokole Tebawo. Menurut Djohan Mekuo (1971) bahwa Mokole Tebawo menduduki tahta kerajaan Konawe pada tahun 1621 ketika itu beliau berumur 14 tahun, pendapat senada dikemukakan Muslimin Suud (1987) Mokole Tebawo naik tahta pada tahun 1621 dan meninggal dunia pada tahun 1671. Setelah mangkat, maka pemerintahan dikendalikan sementara oleh istrinya bernama Maago, yang menurut sumber di kerajaan Bone disebut We Tenri Maago Dungeng. Kendali pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Lakidende, Mokole inilah yang pertama menyatakan agama Islam sebagai agama kerajaan Konawe (Anwar dkk, 2006:26).
Sederetan raja yang memerintah, masih tetap berpedoman pada struktur pemerintahan Wekoila dan mengalami perubahan pada masa Raja Larebi, Raja Tebawo dengan gelar Sangia Inato/I Tahiyai, I Ndahului Tanggokoroi, Melaalaa. Dalam buku Dowunta DPRD TK I Sultra 1982, bahwa struktur pemerintahan Kerajaan Konawe pada masa raja Tebawo, organisasi pemerintahan disusun berdasarkan “Siwole Mbatohui” dan “Pintu Dula Batu” artinya Talam anyaman persegi empat.
Keseluruhan wilayah kekuasaan Kerajaan Konawe dibagi atas 4 (empat) wilayah besar pemerintahan daerah bawahan, yang disebut Siwole Mbatohu (talam persegi empat) yaitu :
1.    Wilayah bagian Barat Kerajaan Konawe yang disebut Tambo I’tepuli’ano oleo, berkedudukan di Latoma pimpinan bergelar Sabandara.
2.    Wilayah bagian Timur Kerajaan Konawe disebut Tambo I’lasoano o’leo berkedudukan di Ranomeeto  pimpinannya  bergelar Sapati.
3.    Wilayah bagian kanan (Utara) Kerajaan Konawe disebut Bharata I’hanano Wuta Konawe, berkedudukan di Tongauna dengan pimpinannya bergelar Ponggawa.
4.    Wilayah bagian kiri (Selatan) Kerajaan Konawe disebut Bharata I’moerino Wuta Konawe, berkedudukan di Asaki Lambuya dengan pimpinannya bergelar Inowa.
Masing-masing wilayah empat besar tersebut dijabat oleh seorang raja bawahan (semacam gubernur kepala daerah) sekarang ini, yaitu :
1.    Sabandara Lantoma di zaman Raja Tebawo dijabat oleh Buburanda.
2.    Sapati di Ranomeeto di zaman Raja Tebawo dijabat oleh Sorumba.
3.    Ponggawa Tongauna, dijabat oleh Paluwu.
4.    Inowa di Asaki, dijabat oleh Imbanahi.
Demi kelancaran bidang pemerintahan dewan kerajaan, maka dibentuk pula dewan daerah, yakni :
1.    Sapati Ranomeeto dipegang oleh Sorumba
2.    Sabanda Latoma dipegang oleh Buburanda
3.     Ponggawa Tongauna dipegang oleh Paluwu
4.    Inowa Asaki dipegang oleh Imbanahi
5.    Kapita Anamolepo di Uepai (Angkatan darat) dipegang oleh Taridala
6.    Kapita Lau/Kapita Bondoala (Angkatan laut) di Sambara dipegang oleh Haribau
7.    Tusawuta di Kasipute dipegang oleh Surunggiha (nama Tolaki) Latuo (nama Luwu) Ambe Mali (nama Bugis) (Monografi, 1974).
Adapun pembagian daerah pemerintah terbagi atas 3 tingkatan:
1.    Wonua (negeri) merupakan tingkat kerajaan yang dikepalai oleh seorang Mokole (raja).
2.    O’tobu setingkat kecamatan yang dipimpin oleh Pu’utobu
3.    O’napo atau o’kambo (setingkat desa) sekarang ini dipimpin oleh “Toono motuo”.
Istilah dari gelar mokole ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat Tolaki, tetapi juga Suku Mori. Menurut penuturan lisan bahwa istilah berasal dari kata “kole” yang berarti “perahu” dengan awalan mo. Ada juga yang berpendapat lain bahwa gelar itu berasal dari kata mokolelei yang berarti mampu mengunjungi orang banyak. “Moko” berarti “dapat”, lelei berarti mengunjungi atau mengelilingi. Adapun yang menjelaskan bahwa gelar itu berasal dari mata oleo yang berarti “mata hari” dengan awalan “moko oleo, yang kemudian berubah menjadi “mokole”, maksudnya “orang yang sifat-sifatnya identik dengan matahari.
Demikian juga istilah mokole dapat disamakan dengan istilah “bokeo” yang berarti “buaya”, maksudnya seorang raja ditakuti karena kekuasaannya, laksana takutnya orang terhadap buaya, ini maksudnya adalah raja yang menguasai wilayah pinggir laut (A. Tarimana, 1985 : 44-46).
Adapun badan-badan pemerintahan saat itu adalah :
a.   Sekretariat Kerajaan yang terdiri dari :
-          Mokole sebagai kepala negara
-          Sulemandara sebagai sekretaris negara
-          Tutuwi Motaha sebagai panglima merangkap ajudan pengawal istana kerajaan/raja.
-          Tury, sebagai komandan pasukan tempur/kepala keamanan kepolisian/intelijen kerajaan.
-          Anakia Mombunahuako, sebagai kepala  urusan rumah tangga kerajaan.
-          Parewan Wuta Konawe, selaku kepala urusan persenjataan kerajaan.
-          Pakakasano Wuta Konawe selaku kepala urusan perlengkapan/ perumahan/pekerjaan umum kerajaan.
-          Dunggu’a, selaku urusan protokoler/persidangan adat kerajaan.
-          Totona’o Wuta Konawe, selaku kepala urusan penyumpahan pejabat Kerajaan Konawe.
b.   Pejabat Tinggi Non-Departemen (semacam Badan Yudikatif) kerajaan yang terdiri dari :
-          Kotu Bitara, selaku Mahkamah Agung
-          Ine Sinumo, selaku Putera Mahkota
-          Palitara Wonua, selaku Menteri Penerangan
c.   Dewan Adat (semacam Parlemen/Legislatif) kerajaan yang terdiri dari :
-          Sapati, berkedudukan di Ranomeeto
-          Sabandara, berkedudukan di Tonganua
-          Kapita Anamolepo (Menteri Angkatan Darat) berkedudukan di uepay/ Asaki.
-          Kapita Lau (Menteri Angkatan Laut) berkedudukan di Puusambalu/ Sambara.
-          Ketujuh anggota Dewan Adat Kerajaan tersebut di atas, disebut “Opitu      Dula Batuno Konawe”.
Ketiga anggota Dewan Kerajaan berakhir di atas, yaitu Kapita Lau, Tusa Wuta dan Sulemandara, keempat lainnya di atas yaitu : seperti Ranomeeto, Sabandara, Latoma, Ponggawa, Tongauna dan Kapita Anamolepo, Uepay di samping sebagai anggota (“O’pitu Dula Batu Konawe”), juga merangkap masuk dalam “O’pitu Dula Batu Konawe”. Berdasarkan dalam kaitannya pembagian kekuasaan jabatan di atas, bahwa sampai saat ini masih diperdebatkan mengenai kedudukan wilayah dan pejabatnya.
Selanjutnya masing-masing wilayah besar tersebut dibagi lagi dalam beberapa wilayah lebih kecil yang disebut o’tobu (setingkat wilayah kecamatan sekarang) atau setingkat kabupaten sekarang, yang masing-masing diperintah seorang kepala wilayah yang disebut/digelar pu’utobu.
Berdasarkan susunan daerah di atas, maka untuk keempat wilayah besar kerajaan  di atas,  terbagi atas 30 wilayah pu’utobu, dengan rincian sebagai berikut:
a.    Wilayah Barat (Latoma) terbagi atas :
1.    Pu’utobu I’ Waworaha
2.    Pu’utobu I’ Aarombu
3.    Pu’utobu I’ Uweesi
4.    Pu’utobu I’ Aasera
5.    Pu’utobu I’ Wiwirano
6.    Pu’utobu I’ Ambekaeri
b.    Wilayah Timur (Ranomeeto) terbagi atas :
7.   Pu’utobu I’ Poasia
8.   Pu’utobu I’ Kolono
9.   Pu’utobu I’ Laa Eya
10. Pu’utobu I’ Moramo
11. Pu’utobu I’ Wawonii, dengan gelar Lakino Wawonii
12. Pu’utobu I’ Konda
13. Pu’utobu I’ Besu
14. Pu’utobu I’ Andaroa
15. Pu’utobu I’ Lembo
c.    Wilayah bagian kanan (o’una/tongauna) terbagi atas :
16. Pu’utobu I’ Lasolo
17. Pu’utobu I’ Toriki
18. Pu’utobu I’ Anggaberi
19. Pu’utobu I’ Palarahi
20. Pu’utobu I’ Anggotoa
d.    Wilayah bagian kiri (Aasaki) terbagi atas :
21. Pu’utobu I’ Mo’oreke
22. Pu’utobu I’ Tudaone
23. Pu’utobu I’ Aasolu
24. Pu’utobu I’ Lasada
25. Pu’utobu I’ Walay
26. Pu’utobu I’ Puriala
27. Pu’utobu I’ Rate-Rate
28. Pu’utobu I’ Angata
29. Pu’utobu I’ Lalohao (Muslimin Su’ud, 1993 : 43-44)
Ke-30 Pu’utobu tersebut di atas dalam menjalankan roda pemerintahannya, ada yang bertanggung jawab kepada wilayah (Siwole Mbatohu) tapi ada juga yang secara administratif bertanggung jawab kepada pejabat O’pitu Dula Batu di wilayahnya masing-masing (Hamid Hasan, 1998 : 26).
Dewan rendahan, yaitu penguasa wilayah tingkat o’napo/o’kampo (setingkat pemerintahan desa) yang perangkatnya terdiri dari :
·         Tolea, urusan perselisihan perjodohan/penghulu
·         Posudo, urusan logistik/perlengkapan
·         Mbusehe, urusan perdamaian
·         Mbuakoi, urusan kepercayaan
·         Mbuaway, urusan kesehatan penduduk
·         Tamalaki, selaku urusan keterlibatan dan keamanan
·         O’tadu, selaku ahli siasat perang
·         Pada zaman Raja Lakidende perangkat Okambo ditambah lagi satu yaitu Serea selaku urusan agama Islam.
C.    Siwole Mbatohu Sebagai Sistem Pemerintahan Dan Pertahanan Kerajaan Konawe

Dalam perkembangan sejarah terjadilah penggabungan beberapa wouna (negeri) kerajaan dalam suatu kerajaan yaitu Kerajaan Konawe telah terjadi perang diantara beberapa kerajaan yang ada seperti kerajaan Wawolesea, kerajaan Besulutu, kerajaan Padangguni. Setelah beberapa lama datanglah seorang Putri bernama Wekoila di kerajaan Padangguni yang kemudian setelah melalui beberapa persyaratan karena persamaan derajat diantara mereka putri Wekoila tersebut diperistrikan Totongano Wonua atau Ramandalangi, dengan adanya penggabungan ini wilayah federasi Wonua itu semakin bertambah luas.
Setelah Wekoila atau seorang wanita tampil ke muka menjadi raja, memegang tampuk pimpinan mengkoordinasikan pemerintahan, dengan menyusun struktur pemerintahan yang sederhana dan belum dikenal Siwole Mbatoku O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe (empat sisi/sayap/barata wilayah besar dan 7 kementerian negara Kerajaan Konawe). Sebagaimana penulis akan uraikan lebih lanjut.
Dalam tradisi lisan masyarakat tolaki menuturkan sesungguhnya konsep sistem pemerintahan Siwole Mbatoku dan O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe telah dipersiapkan jauh sebelum Sangia Inato dilantik menjadi mokole oleh pendahulunya, Mokole Maogo dengan gelar Sangia Mbinanti (Raja yang dipayungi) akan tetapi dalam bentuknya yang belum lengkap dan pelaksanaannya belum efektif, dengan hirarki sebagai berikut :
(1)  Pembagian pusat-pusat pemerintahan pusat di bawah pimpinan mokole-mokole / raja-raja pusat yaitu :
1.    Pemerintahan pusat dipegang oleh Mokole I’Larisomba, Anahia Meita.
2.    Pemerintahan daerah/wilayah dipegang oleh Ndotungano Wonua.
3.    Pemerintahan daerah Kerajaan Konawe yang saat itu disebut Anangguro Motipu Wuta I Konawe, Wonua Nggaluku Lipu I’Laronii I’Unaaha.
(2)  Wilayah-wilayah kekuasaan/kerajaan lokal yang terdiri dari :
1.    Wulele Nggasu Dawa, Wua Nggasa Wula yang berpusat di Mowewe.
2.    Pano dawa wula yang berpusat di Andoolo.
3.    To Lalo Nggasu Wula, yang berpusat di Alosika (Abuki) yang dibantu oleh turunan toono motu’o di Walay.
4.    Meosadaki isi peopati Mohewu, berkedudukan di puriala.
5.    Tamburu Nggasu Dawa, pala Mbala Mengga berkedudukan di Asohi.
6.    Polia lia langi Anasomba Wulaa berkedudukan di Arombu di bagian hulu sungai Konaweha.
7.    Tuudu Mbasi (pelabuhan laut) di Molawe sekarang desa Molawe Lasolo.  (Abbas. B, 1989: 35)
Selanjutnya konsep awal hirarki pemerintahan tersebut, selang 6 tahun menjelang pelantikan Sangia Inato, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi Siwole Mbatoku O’pitu Dula Batu yang akan diuraikan oleh penulis.
Wilayah Kerajaan Konawe secara geografis adalah merupakan daratan yang cukup luas sehingga menyulitkan untuk mengontrol wilayah dan menjalankan kebijakan di daerah-daerah serta banyak yang berkunjung ke daerah ini bahkan niat untuk menguasai kerajaan. Kondisi geografis yang tercipta mendorong Mokole Tebawo mengambil kebijaksanaan untuk membagi wilayah kerajaan dengan empat sisi/empat wilayah, empat sayap yang dikenal Siwole Mbatoku.
Istilah Siwole Mbatohu adalah semacam talam persegi empat yaitu pemerintahan yang dilakukan dari empat penjuru wilayah kekuasaan yang besar terdiri dari : (1) Tambo I Losoano Oleo adalah pintu sebelah timur, tempat terbitnya matahari berkedudukan di Ranomeeto dengan pimpinannya bergelar Sapati (2) Tambo I Tepuliano oleo adalah pintu sebelah barat, tempat terbenamnya matahari berkedudukan di Wowa Latoma dengan pimpinannya bergelar Sabandara (3) Barata I Hana (bintara sebelah kanan atau sayap kanan berkedudukan di Tongauna yang pimpinannya bergelar Ponggawa (4) Barata I Moeri (bintara sebelah kiri atau sayap kiri) berkedudukan di Asaki dengan pimpinannya bergelar Inowa. Kerajaan Konawe ini dibagi atas 4 wilayah besar kekuasaan kerajaan, dengan maksud untuk mewakili raja (mokole) dalam mengkoordinasikan pemerintahan secara efektif dan efisien pada daerah-daerah tersebut sebagai perpanjangan tangan mokole.

a.  Sapati Ranomeeto
Istilah Tambo I Losoano oleo adalah pintu terbitnya matahari, yaitu wilayah kekuasaan sebelah timur Kerajaan Konawe, biasa jkuga dikenal Metombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa, Tambo I Losoano oleo, yang bergelar Sapati. Sapati ini dikenal nama samarannya Kowuna Nggona’ia I Ranomeeto, yaitu bambu yang mempunyai bunyi sangat merdu sekali di Ranomeeto. Pemerintahan Sapati Kowuna Nggonaia berkedudukan di Pu’u Mbopondi Ranomeeto sekarang dengan pejabat-pejabatnya berturut-turut adalah: (1) Sorumba, (2) Melamba, (3) Malandeo.
Pemerintahan wilayah kerajaan Sapati Ranomeeto, dengan kerja sama Kapita Lau (Bondoala) di Sampara, membawahi beberapa pemerintahan wilayah (puutobu) yaitu : 1) Sampara, 2) Poasia, 3) Moramo, 4) Kolono, 5) Lae’ya, dan 6) Wawonii, 7) Palangga. Wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati Ranomeeto untuk menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan instruksi-instruksi yang diberikan oleh mokole sebagai  pimpinan yang tertinggi dalam Kerajaan Konawe. Dengan tugas melayani tamu Kerajaan Konawe yang melewati jalur Ranomeeto dan sekaligus sebagai wilayah pertahanan bagian Timur.

b.  Sabandara Latoma
Istilah Tambo I Tepuliano oleo adalah pintu terbenamnya matahari, yaitu wilayah kekuasaan sebelah barat Kerajaan Konawe, yang dikuasai seorang raja yang bergelar Sabandara. Sama halnya Sapati, oleh Sabandara ini dikenal dengan nama samarannya “Toune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu, Tambo Latoma, Tambo I Tepuliana Oleo, yang berkedudukan di wowa latoma (Kondara’asi) berada dalam wilayah kecamatan Latoma sekarang.
Pemerintahan wilayah kerajaan Sabandara di Latoma membawahi beberapa pemerintahan wilayah puutobu yaitu : 1) Wiwirano, 2) Ambekairi,         3) Asila Waworaha, 4) Arombu, 5) Ue’esi, serta 6) Asera. Demikian raja Sabandara berkuasa atas wilayah-wilayah tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada mokole Kerajaan Konawe di Unaaha.




c.       Ponggawa Tongauna
Biasa dikenal melingge-lingge Bara Metuka Ndambosisi, Tambosisiruromoro Opua Mepambali Bharata I hana, istilah barata I hana adalah bagian kanan, yaitu wilayah kekuasaan sebelah utara Kerajaan Konawe, yang dikuasai oleh seorang raja yang bergelar ponggawa i una dan berkedudukan di Lalonggowuna, Tongauna. Ponggawa i una ini, memiliki dan membawahi beberapa pemerintahan wilayah puutobu yaitu : 1) Anggaberi, 2) Toriki, 3) Wawotobi, 4) Kasipute, 5) Lasolo. Sebagaimana halnya seperti Sapati dan Sabandara tersebut di atas berkuasa dan bertanggung jawab kepada mokole Kerajaan Konawe. Pemerintahan Ponggawa I Una ini, dijabat oleh beberapa orang secara berurutan mulai pejabat pertama hingga terakhir adalah 1) Paluwu, 2) Masigi, 3) Langgonai, 4) Moita, 5) Wuahomo, 6) Lagarai, 7) Ndariala, 8) Watumakila, 9) Latamua (Latamua ini menjabat sebagai Kepala Distrik Tongauna) dilanjutkan Tedombo.

d. Inowa Asaki Lambuya
Biasanya disebut Toremba-remba Nggilo, Toko Wala Wulaa, Merembi-rembi Eno mekalambi wulaa, Simburu Nggari Nggilo patirangga wulaa rambaha monggasono wuta konawe yang disebut “Kapita Anamolepo Wuta I Asaki dengan pimpinan pertamanya Kapita Taridala. Kemudian empat tahun kemudian setelah taridala berangkat ke Pitumpanua (Kolaka utara) dengan membawa pasukan 3.000 orang untuk merebut kembali pitumpanua (tujuh negeri) dan Asera (Sembilan Negeri) karena memberontak. Kapita ini diganti oleh Mbanahi saudara sepupu sekalinya anak  dari Togala, sehingga diberi gelar Ana pineo Towaani (Ana Inowa-owa) yang artinya anak yang diharapkan menjalankan tugas yang dilimpahkan kepadanya. Dengan pengertian ini maka pusat pemerintahan dipindahkan dari Uepay ke puriala dengan gelar Mbanahi yang disebut “Meosadaki isi, Meopati Mehowu, Ana Pineo Towaani I Purialan”. Daerah kekuasaan Inowa Asaki meliputi 5 wilayah Puutobu, yaitu : 1) Puriala, 2) Angata, 3) Benua, 4) Rate-rate, dan 5) Andoolo.
Daerah kekuasaan Raja Ana Inowa-owa I Asaki di wilayah Andoolo dalam menjalankan politik ekspansi Kerajaan Konawe ke wilayah selatan yang sangat luas dan memiliki potensial untuk dikuasai oleh seorang raja yang bergelar Mokole Andoolo yang berkedudukan di Andoolo. Demikian halnya Inowa Asaki ini berkuasa dan bertanggung jawab atas wilayah kekuasaannya kepada Mokole Kerajaan Konawe, kecuali wilayah kerajaan istimewa Mokole Andoolo berkuasa dan bertanggung jawab langsung kepada Mokole pula yang dikoordinasikan dengan Inowa Asaki.

e.  Inea Sinumo
Secara etimologi berasal dari kata inea berarti pinang. Sinumo berarti terbuang atau sia-sia cungkilan dari dalam tanah atau pinang yang sudah bertunas dan tumbuh di tanah, maka pengertian inea sinnumo adalah sisa-sisa buah pinang yang terbuang atau tercungkil dari dalam tanah. Dengan pengertian tersebut di atas maka yang dimaksud inea sinumo, yakni calon/bakal atau persiapan pengganti raja yang sudah meninggal dunia atau karena unsur lain seperti karena usia sudah lanjut dan dianggap sudah dapat menjalankan tugasnya atau karena raja melanggar sumpahnya, tidak patut menjadi raja lagi.
Calon/bakal/pengganti mokole (raja) sebagai putera mahkota Kerajaan Konawe dalam disertasi Dr. A. Tarimana berjudul “Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki” (1985 : 219) mengemukakan istilah : “inea sinumo, Towu Tinorai, Wuta Mbinotiso” dengan pengertian masing-masing adalah pinang terbungkus yang tersimpan, tebu yang terpelihara, tanah yang diberi tanda, yaitu  negeri cadangan raja dalam Kerajaan Konawe dahulu.
Jadi inea sinumo berfungsi sebagai lembaga aparat putra mahkota, yang akan berhak menduduki jabatan kerajaan apabila terjadi kekosongan jabatan tersebut, seperti jabatan mokole, sulemandara, ponggawa, inowa, kapita dan sebagainya.
Berikut silsilah keturunan “inea sinumo” di Abuki dapat digambarkan sebagai berikut :














 
D.    Kedudukan  Kapitalau/Kapita  Bondoala  dalam Kerajaan Konawe

Sejak zaman pemerintahan Mokole Tebawo Kerajaan Konawe telah membentuk panglima angkatan laut (Kapita Lau) atau juga lebih dikenal Kapita Bondoala. Berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara. Pada zaman itu dijabat oleh Hariban dengan gelar kapita Bondoala.
Kapita Bondoala adalah merupakan gelar kapita lau (panglima angkatan laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe, setelah ia kembali dari peperangan bersama Buton, Bone (Aru Palakka) dan lain-lain melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan Gowa yang bernama “Bontoala”, pada tahun 1667.
Eksistensi Kapita Bondoala ini ditemukan dalam riwayat peperangan antara Kerajaan  Gowa dengan Raja Bone (Arung Palakka) yang dibantu oleh pasukan Kerajaan / Kesultanan Buton dan Kerajaan Konawe, telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, dengan judul “ Inovasi orang-orang Bugis pada abad ke XVI – XVII di wilayah Timur dan Barat Sulawesi” dijelaskan mengenai perang antara Sultan Hasanuddin dari Gowa dengan Arung Palakka, yang dibantu dengan 13.000 pasukan gabungan dari Buton, pasukan “Tompo Tihka” (Konawe) Sula, Tidore dijelaskan bahwa pada akhirnya, keberanian pasukan-pasukan Gowa dipertahankan oleh Karaeng Bonto Maramu secara mati-matian di daerah Sombaopu dan Bantoala dan 3 dan 4 hari saja telah diduduki oleh pasukan Arung Palakka yang dipimpin oleh La Tomparina Arung Atahka, Daeng Pabila, Arung Maruang Marowanging, La Sambara Arung Ri Tompo Tikka (Kapitala Bondoala) bersama kapita lau Buton< Matarajo, kapita lau jiapaloe serta kapten De Briel dari Spellman, dengan memaksa korban kedua belah pihak yang sangat besar (A. Zainal Abidin Farid, 1987: 16).
Fungsi dan kedudukan Kapita Bondoala dalam sistem pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan raja Tebawo adalah :
a.    Sebagai panglima angkatan laut Kerajaan Konawe digelar sebagai kapita lau yang memiliki pasukan angkatan laut kurang lebih 1.000 orang, berkedudukan di pu’usambalu (pohara) sambara, dengan pusat pertahanan Lalimbue.
b.    Selain sebagai panglima angkatan laut kerajaan, juga merangkap sebagai anggota Dewan Adat Kerajaan (o’pitu dulu Batuno Konawe).
Dengan kedudukan di atas, nampak statusnya bahwa Kapita Bandoala, tidak mempunyai wilayah kekuasaan seperti Ranomeeto, Latoma, Tongauna dan Asaki, akan tetapi ia hanya menumpang pada wilayah kekuasaan raja Ranomeeto (sapati Ranomeeto) sebagai tempat/pangkalan angkatan laut Kerajaan Konawe, tetapi tidak berada di bawah perintah seperti Ranomeeto. Jadi sama kedudukannya dengan Tusa wuta (menteri pertanian kerajaan) yang tidak memiliki  wilayah atau rakyat yang diperintah, tapi hanya berdomisili di Kasupute mereka hanya membidangi masalah pertanian, yang termasuk sebagai salah satu wilayah pu’utobu dari wilayah kekuasaan ponggawa Tongauna.
Kedudukan kapita lau di Perusambalu Sambara (pohara) wuta Konawe dengan pejabat pertamanya Hariban dikenal juga istilah Tanoopa moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi Mebandera Waea.
Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo dibentuk pejabat yaitu Sulemandara. Kata sulemandara berasal dari bahasa Bugis “sule” artinya pengganti, dan “mandara” berarti pintar/cakap/terampil dan pandai dalam segala hal.
Sebahagian lagi menerapkan bahwa istilah Sulemandara berasal dari kata “Sulewata Mandara” artinya “orang penting kedua dari seseorang pejabat penting dalam suatu negara/kerajaan yang tiap mewakili mokole apabila suatu saat tiba-tiba berhalangan hadir dalam menjalankan tugas. Ini dijelaskan oleh informan bahwa tugas sulemandara ini yaitu mengganti mokole dalam suatu kegiatan, mendampingi mokole dan mengkoordinir para pejabat kerajaan yang tergabung dalam pitudula batuno Konawe. Para pejabat pitudula ini kedudukannya membidangi suatu urusan dalam kerajaan.
Jabatan sulemandara pada zaman Mokole Tebawo yang bergelar Sangia Inato adalah Kalenggo (Tawe ipu’osu). Nama kalenggo ini berasal dari bahasa Bugis Kalengku artinya “diriku atau pengganti diriku atau sama dengan “sule’ku” dari bahasa Luwu/Toraja atau sama dengan sulemandara dalam bahasa Tolaki (Amiruddin K, 1991: 55). Kalenggo ini adalah anak kandung Sangia Inato, sedang keturunan kalenggo ini menurut silsilah yaitu latalambe (sulemandara yang menjabat zaman Mokole Lakidende, Rambetano, Siri, Latoena, Tanggapili dan Tiko).
Menurut Asrul Tawulo (1991/1992: 41) jabatan sulemandara biasa kita kenal dengan sebutan lopa-lopa wulaa, palako lumelede, metemba nggalo sarsa, pebite kinalumbi, sumusele wonua, mandara hii wuta konawe.
Di bawah pemerintahan sulemandara (perdana menteri/sekretaris negara, meliputi : 1) Tuoy (Kepala Kepolisian/inteligen); 2) Dunggu’a (Kepala urusan adat/protokoler); 3) Kukuano o’wuta (Kepala urusan dokumentasi sejarah); 4) Parewano owuta (Kepala urusan persenjataan); 5) Pokosanggano owuta (Kepala urusan perumahan); 6) Pabitara wonua (Kepala urusan penerangan umum); 7)Totonaono owuta (Kepala urusan penyumpahan/penghulu adat); 8) Tena’o mbinerairahi (kurir/utusan kepercayaan raja).
Secara statistik untuk urusan penyumpahan adat kerajaan terbatas atas tiga tingkatan yaitu :
1)   Tingkat Mokole (raja) ditentukan pehanggo sebagai pehangga-hanggaano osara dengan gelar Iway soro mbenaono wuta Konawe (Air penyambung keturunan tanah Konawe).

2)    Tingkat Anggota Dewan  Adat/parlemen kerajaan yang ditentukan oleh walay, dan
3)    Tingkat Daerah (puutobu) terdiri atas :
a.    Wilayah Barat, kiri dan kanan adalah lalonggowuna; dan
b.    Wilayah Timur adalah puunggolaka/tobuha.
Sesungguhnya sulemandara adalah seorang pejabat penting pembantu mokole yang dianggap paling cakap dalam menjalankan tugas-tugas penyelenggaraan administrasi pemerintahan kerajaan.
Dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan mokole dibantu atau diwakili oleh seorang aparat yang bergelar sulemandara. Sulemandara adalah raja yang memberikan suri tauladan yang pandai, yang bertindak selaku penyelenggara urusan pemerintahan dalam negeri Kerajaan Konawe yang berkedudukan di pu’osu.
Sulemandara sebagai penyelenggara urusan dalam negeri, mempunyai tugas khusus untuk menyusun dan melaksanakan pengangkatan dan pemberhentian aparat pemerintahan kerajaan yang masa jabatannya  sudah akan berakhir dan mengusulkan kepada raja untuk menunjuk penggantinya yang baru, bekerja sama dengan inea sinumo wuta mbinotiso / towu tinorai di abuki.

a. Pemerintahan Puutobu
Pada pemerintahan wilayah ini, dikenal dengan istilah Tolu Mbulo Anakia Mbu’utobu adalah tiga puluh bangsawan wilayah yang masing-masing wilayah dikuasai oleh seorang raja yang bergelar Pu’utobu (kepala wilayah).
Pemerintahan wilayah Puutobu yaitu pembantu pelaksana pemerintahan wilayah yang masing-masing  wilayah ini dikuasai dan bertanggung jawab kepada pemerintahan Siwole Mbatohu yaitu empat penjuru pemerintahan daerah yang telah diuraikan sebelumnya. Pemerintahan Puutobu ini merupakan pemerintahan perantara antara pemerintahan wonua melalui Siwole Mbatohu kemudian diteruskan kepada pemerintahan desa (napo) yang disebut o’napo. Pemerintahan Puutobu berkewajiban menyambaikan segala perintah dari pemerintahan wonua kepada pemerintahan o’napo yang berada di wilayah kekuasaannya. Sebaliknya puutobu mempunyai kewajiban untuk meneruskan segala usul permintaan dari pemerintahan napo kepada pemerintahan siwole mbatohu, dan diteruskan lagi kepada pemerintahan wonua yang dipimpin oleh seorang mokole (kepala negeri).
Seorang puutobu sebagai kepala wilayah mempunyai aparat pemerintahan di tingkat wilayahnya, yaitu tingkat pabitara, tolea, posudo dan tamalaki yang ditunjuk dan diangkat dari salah seorang yang menonjol prestasinya dari aparat pemerintahan di bawahnya.
Tugas-tugas yang dilaksanakan aparat pemerintahan puutobu ini adalah segala masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintahan onapo, dan atau segala perselisihan yang terjadi antara pemerintahan o’napo dalam wilayah kekuasaannya.

b. Pemerintahan O’Napo (Pemerintahan Tingkat Desa)
Yang dimaksud O’Napo adalah suatu wilayah lembah secara hukum adat dikuasai dan diduduki oleh gabungan kelompok yang mendiami Anggalo sebagai pelaksana pemerintahan yang terakhir dalam Kerajaan Konawe. Pemerintahan O’Napo ini dikenal dengan istilah Tolu etu La’usa yang berarti tiga ratus tangga, yang maksudnya adalah bahwa desa yang disebut O’Napo ini mempunyai 300 rumah tangga  (kepala keluarga), yang dikuasai dan dipimpin oleh seorang penguasa yang bergelar Tonomotuo (kepala desa).
Pada pemerintahan O’Napo (desa ) ini mempunyai tiga aparatnya yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai berikut :
1)    Tono motuo (Kepala Desa)
Tonomotuo adalah seorang pemimpin wilayah Onapo, tonomotuo berfungsi mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakatnya di dalam berbagai aspek kehidupan. Istilah tonomotuo yang berarti orang tua, yaitu seseorang yang telah dituakan (umur-tertua) disepakati  untuk ditunjuk dan diangkat sebagai kepala desa karena memiliki kemampaun yang lebih tinggi dari semua warga desa yang ada dalam wilayahnya itu.

2)    Pabitara (juru bicara)
Pabitara diartikan seseorang yang pandai bermain silat lidah, sehingga ia dapat ditunjuk sebagai orang kedua sesudah tonomotuo yang berfungsi dalam hal menyelesaikan segala perselisihan warga yang ada di dalam desanya tersebut. Demikian pabitara ini berfungsi sebagai hakim yang akan memutuskan perkara-kara perdata dalam desanya, serta menjadi juru bicara dalam segala pertemuan di dalam desanya maupun ke luar desanya untuk mewakilinya.

3)    Tamalaki (kesatria)
Istilah tamalaki artinya jantan berani yaitu seorang kesatria yang dapat menghalau musuh dari dalam maupun dari luar yang ingin mengacaukan warganya. Berani mengatasi perkelahian antara sesama warganya, dan setiap saat siap untuk berperang apabila terjadi perang. Tamalaki onapo adalah seorang tamalaki yang lebih menonjol dari beberapa tamalaki Anggalo yang berada dalam wilayah kekuasaannya.

4)    Tolea (utusan)
Istilah tolea artinya utusan, yang bertugas khusus membantu tonomotuo dalam urusan-urusan perkawinan, peminangan antara pemuda dan pemudi yang akan mempererat tali kekeluargaan apabila sudah jauh hubungan keluarganya. Demikian pula tolea ini mempunyai tugas untuk menyampaikan berita-berita kematian, kelahiran dan undangan kematian, pesta-pesta apa saja, dengan membawa osara yang disebut okalo.

5)    Posudo (pembantu)
Istilah posudo artinya tiang penyangga, yaitu seseorang yang disiapkan membantu tolea di dalam melaksanakan tugasnya. Posudo adalah mencukupkan atau melengkapi apa yang kurang atau terselesaikan sehingga mencapai hasil yang diharapkan itu. Tugas posudo ini adalah pembantu umum apabila sewaktu-waktu diperlukan bantuannya.


c.       Pemerintahan Anggalo (Kepala  Kampung)
Pada akhirnya tibalah pembahasan kita tentang pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintahan kampung yang disebut anggalo. Istilah anggalo yang telah dikemukakan di atas adalah suatu lembah ngarai yang penghuninya terdiri dari 3 sampai 7 kepala keluarga, tinggal secara berkelompok berdasarkan asal moyangnya.
Istilah anggalo itu sendiri adalah sungai yang kecil, tetapi airnya sangat jernih dengan aliran air yang kurang deras mengandung banyak ikan serta tanah di sekitarnya sangat subur untuk dijadikan kebun sebagai sumber penghidupannya. Pemerintahan yang terendah dalam Kerajaan Konawe yang disebut anggalo secara ideal dapat bertahan berkat adanya aparat-aparat yang mempunyai fungsi masing-masing tersebut di bawah ini.

1)    Tamalaki (Kesatria)
Di sini tidak dijelaskan lagi apa yang dimaksud dengan Tamalaki itu, tetapi tamalaki berfungsi sebagai pemimpin dan penyelamat warganya, mampu mempertahankan serta mempersatukan kelompoknya secara utuh dan tidak terpisahkan sejak asal nenek moyangnya.
2)    Mbuakio (dukun penolak bencana)
Mbu’akoi seorang dukun yang mempunyai kesaktian ilmunya yang dapat memberantas wabah penyakit, mengusir roh-roh halus dari gangguan warganya, menolak bencana alam sebelumnya timbul, seperti banjir, kebakaran, angin topan dan sebagainya.

3)    Mbuo’wai (dukun penyakit)
Mbuo’wai ini hampir sama fungsinya dengan Mbuakoi, tetapi tugasnya hanya khusus mengobati penyakit yang diderita warganya, mengobati orang-orang yang kesurupan setan, membantu melahirkan bagi dukun wanita.

4)    Mbusehe (Dukun perdamaian)
Demikian halnya mbuakoi dan mbuowai ini, fungsi dari mbusehe adalah melaksanakan upacara semacam suatu pernyataan dari kedua belah pihak yang telah berselisih untuk diakhiri perselisihan tersebut. Maksud mosehe adalah suatu upacara adat Tolaki untuk saling memaafkan segala kesalahan-kesalahan atau perbuatan-perbuatan yang melukai hati masing-masing, agar dihapuskan sesuai dengan perselisihan yang terjadi. Mosehe dilakukan di pesta syukuran perkawinan, penguburan, sesudah potong padi dengan hasil yang memuaskan. Makna lain dari mosehe ini adalah memohon dari roh-roh moyangnya kiranya mendapat restu keselamatan dirinya dan keluarganya, bahkan seluruh hadirin yang menyaksikannya.

5)    Mbusopo (pandai besi)
Mbusopu adalah seseorang yang mempunyai keterampilan membuat peralatan pertanian dan persenjataan perang apabila terjadi serangan baik dari dalam maupun dari luar kelompoknya. Membuat parang, tombak, kapak, pacul, linggis, sabit, dan sebagainya yang dapat dipergunakan oleh warganya di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

6)    O’pande (tukang)
Istilah o’pande memberi contoh atau petunjuk, yaitu seseorang yang mempunyai keahlian tertentu, misalnya tukang kayu, tukang emas dan sebagainya. Tukang kayu disebut pande laika, yaitu pandai membuat rumah papan atau kataba, pandai membuat perabot rumah seperti kursi, meja, lemari, bangku dan sebagainya. Demikian pula pande wulaa, yaitu seseorang yang mempunyai kepandaian untuk membuat perhiasan wanita dari emas maupun dari perak seperti anting-anting, kalung, bros, cincin yang akan digunakan muda-mudi maupun orang-orang tua.
d.  Sio Sowu Ana Niawo (Rakyat)
Istilah sio sowu ana niawo adalah sembilan ribu pengikutnya yaitu penduduk Kerajaan Konawe sebanyak 9.000 kepala rumah tangga sebagai wilayah daratan Kabupaten Kendari sekarang ini. Jadi yang dimaksud Sio Sowu ana niawo di sini adalah rakyat, yang biasanya bersumber dari tononggapa, Towonua, Tonodadio, Tonotoka atau Wonua, ata meambo, tono biasa dan sebagainya. Tidak saja orang-orang tersebut yang menjadi rakyat tetapi semua pemangku adat seperti tonomotuo, tamalaki, mbuakoi, mbuowai, mbusehe, tolea, posudo, maupun golongan bangsawan yang tidak memangku jabatan-jabatan tersebut di atas, termasuk lapisan O’ata (budak) itu.

e.  Masa Pemerintahan Mokole Maago (Sangia Mbinauti)
Untuk tetap menjaga kontinuitas roda pemerintahan Kerajaan Konawe, pasca mangkatnya Mokole Tebawo, dewan kerajaan Sulemandara Kalenggo selaku ketua mengundang putra mahkota Maranay berkedudukan di Abuki dengan sebutan Inea Sinumo Wuta Mbinotiso, towu tinorai i Abuki guna membicarakan pengganti mokole, tetapi Maranai tidak bersedia menerima jabatan Mokole.
Pilihan Dewan Kerajaan sepakat mengangkat Maago menggantikan ayahnya menjadi mokole Konawe. Selanjutnya dilaksanakan pelantikan oleh kepala urusan penyumpahan “I wai Sorombenao, Kukuano owuta dan pondarimaano o mana”. Maranay sendiri sebagai raja muda tidak menyetujui bila Maago menjadi mokole kerajaan ibunya bukan dari turunan bangsawan (Anakia) berstatus selir, demikian pula wilayah utara Konawe tidak puas dengan pengganti mokole. Sehingga pada masa ini terjadi disintegrasi dalam Kerajaan Konawe, daerah Lawata memberontak atau ingin melepaskan diri dari pemerintahan mokole Maago dipimpin oleh Surumaindo, perlu dikemukakan bahwa sebelumnya wilayah Lawata ini sudah pernah mengadakan pemberontakan pada masa Mokole Melamba yang dipimpin oleh Lamasoleo bersaudara kandung dengan Surumaindo (Mokole Lawata) tetapi berhasil dipadamkan, muncul kembali pada masa Maago.
Surumaindo selaku penguasa Lawata yang berada di bawah kekuasaan lipu wonua Konawe, tidak hanya cara memberontak tetapi menolak setiap kebijakan dari pusat negeri. Menyikapi kondisi ini seluruh petinggi di Kerajaan Konawe segera mengadakan pertemuan sidang istimewa dan disepakati :
a.    Keutuhan Konawe harus dipertahankan dengan menaklukkan Surumaindo (Mokole – Lawata).
b.    Menugaskan Kapita Anamolepo, Taridala menyerbu Lawata dengan sejumlah pasukannya yang cukup besar (Dokumentasi DPRD, 1982: 12).
Dalam upaya pemberontakan ini Surumaindo dan Lamasoleo dibantu  oleh Raja Matano dengan mengirimkan senjatanya sebab di daerah Matano ini sebagai tempat pembuatan atau kegiatan menempa besi (Lawu).
Ekspedisi tentara Kerajaan Konawe di bawah pimpinan Taridala dibantu para Tamalaki, Tadu dan prajurit dapat menaklukkan Lawata selama 7 hari dengan hasil akhir Lawata kembali  tunduk pada pusat kerajaan di bawah pemerintahan Mokole Maago. Dalam menjalankan roda pemerintahan Mokole Maago tidak berbeda dengan sistem politik ayahnya Mokole Tebawo (Sangia Inato).
Hubungan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga terus ditingkatkan, kecuali dari kerajaan Luwu, yang telah beberapa kali melaksanakan ekspedisi penyerangan yaitu pada masa Mokole Melamba (Murhum/Taweaha) Mokole Maago dan pada masa Mokole Lakidende.







 
































 
































Gambar 27  :     Makam Mokole/Raja Lakidende yang terletak di Pusat Kota Unaaha Kabupaten Konawe


 













Gambar 28  :  Makam Permaisuri Mokole/Raja Lakidende yang letaknya beberapa puluh meter dari Makam  Mokole/Raja Lakidende di Pusat Kota Unaaha Kabupaten Konawe.

Menurut tradisi lisan pada masa Mokole Lakidende tentara Luwu menyerang Konawe, yang memicu dibakarnya istana kerajaan. Kemudian Lakidende menyingkir dari pusat istana kerajaan disebut Ambokosila tidak jauh dari daerah Walaka Amedalu. (Ajemain Suruambo, Wawancara, 23 Maret 05).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa lokasi istana pusat kerajaan Konawe berada tidak jauh dari inolobu nggadue, apabila tradisi lisan tersebut dijadikan pegangan, maka diperkirakan lokasi istana kerajaan Konawe saat ini berada di pusat Kota Unaaha dan telah menjadi lokasi perkantoran atau bahkan pemukiman penduduk.


 


















Gambar 29  :  Lokasi tempat berburu keluarga/tamu kerajaan (Inolobu Nggadue) yang sekarang ini telah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Konawe.










 











Gambar 30  :  Perkiraan Lokasi Istana Kerajaan Konawe yang letaknya tidak jauh dari Inolobu Ngadue di Pusat Kota Unaaha Kabupaten Konawe.

Penyerangan tentara Luwu ini baik pada masa Mokole Melamba, Maago maupun Lakidende telah mengalami kegagalan, hal ini tidak terlepas dari sistem pertahanan Kerajaan Konawe, untuk mengantisipasi hal ini pada masa mokole Mokole Tebawo menempatkan Buburanda sebagai Sabandara wilayah pertahanan sebelah barat yang akan membendung serangan dari arah barat terutama Kerajaan Luwu yang ingin menguasai Kerajaan Konawe, ini dibuktikan oleh Tebawo dengan mewariskan sebuah batu asahan (rambaha wuwue artinya batu asah yang dapat mendidih) yang digunakan oleh Buburanda untuk mengasah parang atau perlengkapan perang untuk menghadapi musuh dari arah barat. (Wawancara, Ajemain Suruambo, 24 – 3 – 05).
Gambaran kondisi perekonomian rakyat bertambah baik, perahu-perahu dari para saudagar termasuk para migran semakin ramai mengunjungi Konawe. Benda-benda porselin dan perunggu banyak diperdagangkan, termasuk cenderamata mendorong penduduk untuk memilikinya itupun hanya orang-orang tertentu.
Dengan ramainya para pedagang terutama saudagar-saudagar Bugis memasuki Konawe, dimana sebelumnya telah dibina hubungan yang baik dengan kerajaan di Selatan. Maka pengaruh Islam makin terasa pula, namun belum diterima menjadi agama sesuai yang dianut kerajaan, rakyat tetap menganut kepercayaan lama. Perkawinan poligami dilaksanakan oleh Maago dengan beberapa orang istri, Maago menikah dengan Elu Ndotoburi dari Toburi Moronene yang seorang bernama Wetaninda yang melahirkan seorang putra bernama Lakidende. Mokole Maago mangkat karena usia lanjut dan diberi gelar Sangia Mbinanti (Sangia = dewa; mbinanti = yang dipayungi).
Pada masa raja (mokole) Tebawo terdapat kolam istana di sekitar istana (lalobalongga). Kolam tersebut dikerjakan oleh para budak (o’ata). Kolam ini digunakan sebagai tempat hiburan para permaisuri dan istri Mokole Tebawo. Untuk memelihara dan menjaga kolam tersebut ditunjuk seorang hamba sahaya. Kisah ini biasa disyairkan dalam bentuk anggo “Tarenda-renda Nggoe, Ninkendanggu roro, peteiya rano inule ngginiku”. Syair tersebut masih tetap dikenang sebagian rakyat Konawe. Menurut tradisi syair anggao ini dilarang oleh Kapita Lasandara (di Wawotobi) sebagai raja dua di kerajaan Laiwoi. Secara genealogis turunan penjaga kolam istana tersebut masih dapat kita temukan dimasyarakat Tolaki.
Adapun aparat yang termasuk dalam pintu dula batu dalam  Kerajaan Konawe yang membantu mokole (raja) yang merupakan kabinet yang memegang departemen tidak memiliki wilayah kekuasaan seperti halnya pejabat siwole mbatohu. Pejabat pitu dula batu yaitu :

a.    Tutuwi Motaha/polapi wungu’aro (pertahanan)
Tutuwi Motaha atau polapi wungu’aro berkedudukan di daerah Anggaberi dengan gelar Anakia Ndamalaki Rambaha Monggasono una. Istilah polapi wungu’aro adalah pelapis dada yang maksudnya adalah aparat menteri pertahanan yang bertugas untuk mempertahankan kerajaan apabila terjadi serangan dari luar maupun dari dalam negeri Kerajaan Konawe. Gelar Tutuwi Motaha, rambaha monggasono o una, polapi wunggu’arono wuta konawe, masing-masing berarti penutup merah (bendera merah), batu asahan tajam alang-alang (batu asahan negeri una yang tajam), benteng pertahanan Kerajaan Konawe, yang dijabat oleh seorang raja, yang bergelar anakia ndamalaki, yang berkedudukan di Anggaberi, dengan pejabat pertama adalah I Tehangga biasa juga dikenal sebagai panglima pengawal istana (ajudan) dengan nama sesungguhnya I Nowehi. Ia seorang pemberani yang pernah diutus bersama 740 pasukan Konawe membantu Bone melawan  Luwu untuk merebut wilayah Ponre, sehingga dengan keberaniannya itu diberi penghargaan bersama Arung Pone V (Tenri Sukki Mapayunge) dengan Pakanre  Ate (jika membunuh dimakan hatinya). Sewaktu bertempur tidak pernah ditembus peluru tajam dengan pasukan yang dipimpin oleh seorang pemberani daro Tiworo bernama Lasehao dengan gelarnya I Wutuahu.

b.   Tusa Wuta (Menteri Pertanian)
Istilah Tusa Wuta yang berarti tinga tanah, yaitu aparat petugas pertanian. Tusa Wuta, rome-romeona wuta Konawe masing-masing berarti pusat tanah, sumber kemakmuran Kerajaan Konawe, yang dijabat oleh seorang raja, yang bergelar anakian Ndusawuta, yang berkedudukan di Kasupute (Abdurauf T, 1985: 217).
Tusa Wuta bertugas mengurus penguasaan dan pemilikkan tanah, mengurus masalah yang berhubungan dengan pertanian rakyat, menentukan lokasi pertanian dan perkebunan bagi rakyat Konawe yang akan berkebun dan berladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mengorganisir kerja gotong royong pada waktu mengerjakan kebun dan ladang secara bergiliran sampai semua anggota mendapat gilirannya. Mengatur tanah-tanah yang terlarang untuk dijadikan ladang dan kebun. Demikian pula mengatur tanah-tanah tempat untuk perkampungan rakyat agar tidak kelihatan berkeliaran ke sana kemari.
Tusa Wuta menetapkan batas-batas wilayah kekuasaan yang dapat dimiliki oleh seseorang dalam mengusahakan walakanya, waworahanya, lalo epe dan sebagainya. Demikian pula Tusa Wuta menentukan batas-batas wilayah perkampungan sebagai wilayah kekuasaan masing-masing agar rakyat tidak membuat pemukiman sekehendak hatinya, sehingga dapat mengambil dan memiliki daerah atau tanah orang lain di luar wilayah masyarakatnya.
Tugas dan fungsi kepemimpinan Tusa Wuta, yaitu :
1). Merencanakan pertanian (Tumoorike pondau)
2).  Mengatur pemanfaatan lahan pertanian (tumisoi nggopondauhano toono)
3).  Memerintahkan dimulainya perladangan (tumenai toono mondau atau humi’ai ano pondauto toono.
4).  Menjaga logistik rakyat (dumagai ikee kinano tono dadio), dan
5).  Mengatur logistik raja (mombepe taukee mokole)
Sedangkan pranata kepemimpinan “Tusa Wuta” sebagai menteri pertanian adalah :
a.    Dalam sistem pengolahan tanah maka Tusa Wuta mempunyai keterlibatannya yaitu : 1) Memberikan petunjuk cara perladangan yang menghasilkan panen yang baik, di samping menjaga kelestarian hutannya, 2) melakukan pengawasan secara langsung/tidak langsung terhadap yang melakukan perladangan liar; dan 3) memimpin upacara pesta dan syukuran atas keberhasilan panen rakyat yang disebut  “Monahu ndou” dalam kegiatan upacara Lulo Nggada.
b.    Dalam sistem pengetahuan cuaca (pesuri) maka Tusa Wuta mengamati keadaan perubahan cuaca, keadaan hutan, tanah dan seluruh alam sekitarnya dan menetapkan kapan pelaksanaan penanaman yang lebih baik dengan menyesuaikan perubahan tanda-tanda cuaca (pesuri itu).
c.    Dalam memiliki sebidang tanah dapat dilakukan dengan melalui :                           1) menunjuk sebidang tanah (mombotiso); 2) menumpang tanah (mosaru wuta), dan 3) hak mendahului (wuta nggopesukahaano). Kemudian terjadi pengalihan secara sah dari persetujuan raja (mokole) yang biasanya diwakili tusa wuta (menteri pertanian).
d.    Dalam sistem bercocok tanam (sara mombopaho) yang pada umumnya  dilakukan dimulai dari penyediaan bibit, penanamannya dan pemetikan hasilnya harus diadakan sistem upacara adat yang ditentukan oleh tua-tua adat atas persetujuan raja melalui pembantunya Tusa Wuta.
e.    Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka Tusa Wuta menghimbau dan mendorong rakyat  (humiai toono),  untuk : 1) berladang seluas-luasnya sesuai dengan kemampuannya; 2) memelihara ternak (mombaki kiniku), 3) menanam kelapa, kopi, pisang, sagu, umbi-umbian dalam mengantisipasi kelaparan rakyat.

c.    Kotu Bitara atau Pabitara (Aparat Hakim Adat)
Aparat hakim adat yang disebut kotu bitara yaitu pemutus perkara, yang dijabat oleh seorang raja yang bergelar anakia mbabitara, yang berkedudukan di daerah wonggeduku (Abdurauf Tarimana, 1985: 217). Tugas hakim adat atau pabitara adalah melayani masyarakat yang ingin mencari keadilan tentang hak milik pribadi, misalnya hutang piutang, jual beli, dan sebagainya. Apabila seseorang yang merasa dirinya ditipu karena seseorang melanggar tidak mau membayat hutang yang telah diperjanjikan sesuai konsensus. Pabitara hanya menyelesaikan bidang perkara perdata, sedangkan bite kinalumbi adalah menyelesaikan perkara bidang pidana kejahatan yang terjadi di masyarakat.

d.   Tuo’i atau Rakahi  Mbetumbu (Pengawal Istana) Raja
Istilah Tuo’i adalah ranjau yang terbuat dari bambu runcing yang tajam sekali, yang prajurit-prajurit pilihan yang mengawal keselamatan raja di istana kerajaan, yang berkedudukan di Unaasi. Pada umumnya yang menjadi Tuo’i adalah golongan Tononggapa yang sudah menjadi pilihan, mempunyai keberanian dan kesetiaan mengabdi kepada kerajaan.
BAB III
ERA PENJAJAHAN

A.    Penjajahan Belanda  Akhir Abad Ke-19
Kerajaan Konawe, sejak menjelang akhir abad ke XVIII semakin mengalami kemunduran terutama setelah raja (Mokole) Lakidende meninggal dunia. Sesudah itu Raja Mokole/Konawe dapat dikatakan sudah tidak ada. Masing-masing raja bawahan yang terdiri dari 4 (empat) wilayah besar (Siwole Mbatohu) tinggal mengurus dirinya sendiri-sendiri, salah satu diantaranya yaitu Raja Ranomeeto muncul dengan nama baru “Laiwoi” yang mengaku sebagai pengganti Kerajaan Konawe. Demikian juga Kerajaan Mekongga, sejak meninggalnya raja (Bokeo) Mekongga I Teporambe pada akhir abad ke XVII, maka kerajaan mekongga kemudian menjadi bagian  kerajaan Luwu.
Dalam kaitannya dengan berdirinya kerajaan Laiwoi berkaitan dengan adanya krisis kepemimpinan sehingga terjadi kevakuman kekuasaan, keadaan ini dimanfaatkan oleh Hindia Belanda untuk memperkuat kedudukan Sorumba (Sapati Ranomeeto) wilayah gerbang Timur kerajaan Konawe mengambil alih pemerintahan dengan mengawali berkembangnya kerajaan Laiwoi pada paruh pertama abad ke-19. Tampilnya La Mangu menggantikan ibunya (i Maho/Verstin Van Laiwoi) sebagai Raja Laiwoi semakin memperkuat posisinya sebagai suatu kerajaan yang telah melepaskan diri dari ikatan dengan bekas kerajaan Konawe yang sebenarnya telah runtuh walaupun Saranani masih menjabat sebagai Sulemandara Konawe yang berkedudukan di Pondidaha.
Maho yang digantikan putranya La Mangu, naik tahta pada tahun 1858. Pada tanggal 13 April 1858 La Mangu menandatangani perjanjian dengan Belanda, selain La Mangu ikut pula bertandatangan Batuangan sebagai Sapati, Malaka sebagai Ajun Kapita dan La Palewo sebagai Ponggawa. Di pihak Belanda diwakili oleh A.A. Daviers atas nama Gubernur  Jenderal Hindia Belanda (Bhurhanuddin, 1979 : 35).
Dari komposisi penandatanganan tersebut nampak bahwa La Mangu merupakan Raja Laiwoi (Kendari) yang telah lepas dari Konawe yang saat itu hanya diperintah oleh Sulemandara yang berpusat di Pondidaha. Pada dasarnya kerajaan Konawe telah runtuh sejak akhir abad XVIII setelah meninggalnya Mokole Lakidende, meskipun kesatuan adat Konawe masih dipertahankan melalui Tokoh Sulemandara Saranani sampai meninggalnya pada tahun 1904. Menjelang pertengahan abad XIX Ranomeeto menyatakan berdiri sendiri dengan nama Kerajaan Laiwoi. Wilayahnya meliputi: Ranomeeto, Lainea, Moramo, Poasia, Mandonga, Kendari, Soropia, Wawonii dan Sampara. La Mangu membentuk kabinetnya dengan susunan : Sapati (Perdana Menteri), Kapita (Menteri pertanahan/Sekretaris), Ponggawa (panglima Perang) (Bhurhanuddin, 1979 : 33). Perjanjian yang ditandatangani La Mangu 13 April 1858 merupakan perjanjian panjang (long contract) yang pertama ditandatangani raja-raja di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Bone menandatanganiu long contract 13 April 1860, Luwu pada tanggal 16 September 1861 (Bhurhanuddin, 1979 : 35 dan Aneka Budaya Sultra, 1978-1979).
Pada tahun 1865 La Mangu mangkat, digantikan oleh putranya Sao-Sao menjadi Raja Laiwoi, namun karena belum dewasa (masih anak-anak, belum dapat membuat perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda. Raja Sao-Sao juga menandatangani perjanjian (verbond van bevestiging) dengan Belanda. Selanjutnya Sao-Sao kembali menandatangani perjanjian panjang pada tanggal 21 Desember 1885. Sao-Sao selaku Raja Laiwoi yang merupakan Kerajaan Pantai, sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya seperti pecahan-pecahan kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan pedalaman, pecahannya berkembang menjadi kerajaan pantai, seperti Gresik dan Tuban. Raja Sao-Sao berusaha untuk mempersatukan kembali wilayah-wilayah bekas Kerajaan Konawe. Ia mengutus Laasamana atau H. Abdul Gani (Haji Taata) untuk menemui Sulemandara Saranani di Pondidaha dan beberapa penguasa wilayah lain di bekas Kerajaan Konawe. Usaha ini mendapat tantangan dengan berbagai alasan, antara lain bahwa Kerajaan Laiwoi didirikan oleh bangsawan Tolaki dari Wilayah Kesapatian Ranomeeto yang didukung oleh keluarga mereka dari Tiworo-Muna-Buton dan Bugis Bone. Hal tersebut dapat diketahui melalui silsilah raja-rajanya, seperti i Maho (Verstin Van Laiwoi/Ratu Laiwoi) kawin dengan La Sambawa (Putra Arung Bakung dari Bone dengan putri Raja Tiworo-Muna) beranakan La Mangu yang pada gilirannya juga menjadai Raja Laiwoi, demikian seterusnya sampai pada anaknya Sao-Sao dan cucunya bernama Tekaka (sumber: Buku Aneka Budaya Sultra, 1978/1979; 92-95). Dan bersamaan dengan zaman mereka menjadi raja, masuk pula pengaruh Belanda di wilayah ini, sehingga dianggap usaha Laiwoi merupakan perpanjangan tangan Belanda untuk menguasai wilayah semenanjung Sulawesi Tenggara. Meskipun harus diakui sebagai fakta sejarah bahwa pada akhir abad XIX sampai dengan awal abad XX tidak satupun wilayah di Nusantara yang luput dari kampanye penyatuan dalam wilayah Hindia Belanda dan para raja dipaksa menandatangani perjanjian dengan Hindia Belanda.
Sejak ditetapkan sebagai raja Laiwoi, maka Sao-Sao membuat perjanjian kedua mewakili Hadat Kerajaan Laiwoi dengan.Hindia-Belanda yang diwakili Resident Bensbach pada hari senin tanggal 21 Desember 1885 di atas kapal pemerintah Hindia Belanda bernama “Borneo” yang sedang berlabuh di luar teluk Kendari. Perjanjian kedua yang ditandatangani raja Sao-Sao ini terdiri dari 18 pasal dan salah satu pasalnya adalah Hindia Belanda dan Laiwoi masuk dalam daerah Hindia Belanda.
Sejak itu di Kendari mulai ditempatkan seorang Gezaghebber, namun kekuasaan Belanda belum dapat mencapai daerah-daerah di luar kekuasaan Sao-Sao (Raja Laiwoi). Para turunan bangsawan wilayah bekas kerajaan Konawe diluar Ranomeeto (kerajaan Laiwoi) tetap tidak mengakui Sao-Sao sebagai Raja mereka yang menentang kedatangan Belanda ke wilayahnya. Mereka menyadari bahwa kedatangan Belanda merupakan ancaman fatal bagi pengaruh politik mereka dan akan merusak tata kehidpan tradisional mereka secara turun-temurun. Itulah sebabnya disetiap tempat yang didatangi Belanda pasti terjadi perlawanan-perlawanan sengit antara lain :
1)     Di Sanuanggamo/Tongauna dekat ibukota Kerajaan Konawe, Watukila (Punggawa) Tongauna melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan Belanda bersama dengan seorang Panglima Wanita yang bernama Weribundu;
2)     Demikian juga Samuale (Sulewata Wawotobi) bersama Lapotende mengadakan perlawanan di sekitar daerah Wawotobi, Kulahi dan Bungguosu;
3)     Lapotende menghadang ekspedisi Controleur Heckker pada tahun 1907 di Wawotobi kemudian menyerang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi pada tahun 1908. Dalam pertempuran sengit tersebut pasukan Marsose Belanda dapat dihancurkan;
4)     Di Windonu, Konawe Selatan juga terjadi perlawanan sengit yang dipimpin oleh Lapadi yang berhasil menghancurkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Controleur van Eys dan Kapten Helleks pada tahun 1908. Ia dibantu oleh seorang Panglima Wanita Pemberani yang bernama Aliyina. Sayang sekali perlawanan Lapadi dapat dipatahkan pada tahun 1910 ketika ia berhasil ditangkap oleh Belanda di Ngapamandati tapi setahun kemudian ia berhasil meloloskan diri dan kembali melanjutkan perlawanan.
5)     Demikian juga di Baito, timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Polonui, pada tahun 1907 – 1910.
6)     Di Puday (Labututu) juga timbul perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Matasala yang berhasil menghadang dan menghancurkan 1kompie tentara Belanda serta berhasil  membunuh seorang pionir (mata-mata) Belanda yang bernama Han Po Seng pada tahun 1908;
7)     Ditempat lain di Konawe Selatan juga timbul perlawanan-perlawanan sengit yang dipelopori oleh Lamangga (1911) dan Abdullah (1914-1915). Keduanya berhasil ditangkap oleh Belanda dan dihukum mati, sedang beberapa pasukannya dibuang ke Payakumbuh dan Nusakambangan;
8)     Di Bungguosu, Wawotobi selain Samuale dan Lapotende, juga timbul perlawanan yang dipimpin oleh Lamboasa, yang kemudian pada tahun 1911 berhasil ditangkap oleh Belanda dan mayatnya ditanam terbalik oleh Belanda di Ngapa Walanda/Palahari.
9)     Semua perlawanan rakyat di atas (di Tongauna, Wawotobi, Palarahi, Puday dan Bungguosu) baru dapat dipatahkan oleh Belanda pada tahun 1912 setelah para pemimpinnya Watukilah (Punggawa Tongauna); Samuale (Sulewata Wawotobi) dan ; Matalasa dengan kawan-kwannya berhasil ditangkap dan dibuang ke Makassar (Watukilah dan Samuale) sedang Matalasa dibuang ke Sawahlunto Sumatera Barat.
Usaha penaklukan terhadap para bangsawan Konawe yang melawan belanda dan raja Sao-Sao di atas baru berakhir seluruhnya pada tahun 1916. Setahun kemudian yaitu pada tahun 1917 barulah diadakan pertemuan segi tiga antara Belanda – Sao-Sao dan para raja-raja Konawe yang berhasil memaksakan kehendak belanda melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring) yang lainnya antara lain menyatakan bahwa seluruh wilayah bekas kerajaan Konawe (dengan nama Laiwoi) merupakan bagian dari Hindia Belanda. Sesudah itu yaitu pada tahun 1918, barulah raja Sao-Sao resmi dilantik sebagai Raja Laiwoi dengan gelar “Sangia Laiwoi”. Meski demikian sesudah pelantikan antara lain di Motaha yang dipimpin oleh seorang bangsawan Konawe yang bernama Laulewulu. Namun karena kekuasaan Belanda yang semakin kokoh akhirnya perlawanan-perlawanan tersebut dapat ditumpas seluruhnya pada akhir tahun 1919.
Sesudah Belanda berhasil membuat Raja-raja Sulawesi Tenggara tunduk kepadanya, maka Belanda berusaha mengamankan wilayah golongan-golongan bangsawan atau para Kepala Wilayah setempat yang menunjukkan sikap menentang. Ditempat-tempat yang dianggap strategis Belanda membangun pangkalan-pangkalan Tentara belanda guna menumpas perlawanan-perlawanan yang mungkin timbul. Sampai dengan tahun 1910, Kesultanan Buton, Muna dan Mekongga telah dapat diamankan sepenuhnya, sedagkan Laiwoi berlanjut terus sampai tahun 1917. Hal ini disebabkan karena sebelumnya, kerajaan ini terbagi atas wilayah-wilayah bekas kerajaan Konawe yang masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Raja Bawahan yang berkuasa secara otonom. Raja (Mokole) Konawe sendiri yang berpusat di Unaaha sejak meninggalnya Raja Lakidende, raja-raja penggantinya tinggal dari turunan-turunan Sulemandara (Perdana menteri) yang tetap mempertahankan eksistensi keberadaan kerajaan Konawe sampai tahun 1928, dibawah kepemimpinan Saranani II. Itulah sebabnya Belanda memilih Ranomeeto (laiwoi) untuk memerintah seluruh wilayah bekas kerajaan Konawe. Atau dengan kata lain bahwa Belanda memantapkan  Laiwoi atas seluruh bekas wilayah kerajaan Konawe sebagai politik Devide Et Empera untuk berkuasa di wilayah tersebut. Dan melalui Raja/Sangia Laiwoi yang dibentuknya, Belanda mengatur kuasa penjajahannya.
Kerajaan Laiwoi dbagi atas 4 Wilayah Distrik, yaitu :
1)   Distrik Ranomeeto;
2)   Distrik Konawe;
3)   Distrik Lasolo;
4)   Distrik Andoolo.
Tiap-tiap Distrik atau Onderdistrik terbagi atas kampung-kampung yang dikepalai oelh seorang Kepala Kampung yang sebelumnya dikenal dalam jabatan-jabatan tradisional. Toono Motu’o (Konawe) yang sebelumnya mempunyai kedudukan khusus dalam pandangan tradisional sekarang diubah menjadi Kepala kampung. Demikian pula Mieno/Kamokula/Kino di Muna serta Bonto/Bobato (Lakina) di Buton, kedudukan tradisional mereka hilang sama sekali.
Daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara juga melakukan perlawanan yang sama untuk menentang penjajahan, sehingga cukup merepotkan pemerintah kolonial Belanda.  Untuk menguasai Kerajaan Konawe, misalnya, Belanda harus menunggu sampai awal abad ke-21.  Hal ini disebabkan pada awal abad ke-21 tersebut sebagian besar wilayah Kerajaan Konawe (sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Kendari), mulai melemah sejak ditinggalkan rajanya yang bernama Lakidende.  Beliau merupakan pelopor penyesuaian adat dengan ajaran Islam, sehingga ajaran Islam kemudian menjadi bagian hidup dari sebagian besar masyarakat Sulawesi Tenggara. Sesudah Raja Lakidende wafat, situasi dalam negeri dan pemerintahan Kerajaan Konawe mengalami keadaan  yang paling lemah karena para anggota Dewan Kerajaan yang terdiri dari kaum bangsawan yang juga menjadi kepala-kepala pemerintahan daerah otonom dalam wilayah Kerajaan Konawe tidak bisa memilih pengganti Lakidende.
Sidang-sidang Dewan Kerajaan selalu gagal menentukan calon raja.  Walaupun demikian kevakuman ditakhta Konawe tidak lantas membuat kerajaan runtuh,  sebab para bangsawan tersebut sebagai penguasa daerah otonom tetap bersatu. 
Tahun 1858 La Mangu naik tahta menjadi Raja Laiwoi dan mengadakan perjanjian dengan A.A. Vreis yang mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda.  Perjanjian itu menyangkut pembentukan Kerajaan Laiwoi yang lepas sepenuhnya dari Kerajaan Konawe.  Lahirnya kerajaan baru ini, yang wilayahnya meliputi eks Kesapatian Ranomeeto sebagaimana telah disebutkan pada halam 340 dan 363, sangat dirahasiakan.
Pihak Belanda berpendapat bahwa Kerajaan Laiwoi tidak mungkin berdiri kokoh sebelum menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya yang tidak pro Belanda.  Namun untuk menaklukan  kerajaan-kerajaan tersebut juga hampir mustahil karena jelas-jelas mereka bersatu dalam menentang penjajahan.  Sama mustahilnya dengan menundukan Kerajaan Konawe secara langsung, sebab sistem pertahanan kerajaan ini sudah dilengkapi dengan persenjataan yang diperoleh dari hasil perdagangan dengan Spanyol dan Portugis jauh sebelum Belanda datang.  Jalan yang paling mungkin adalah diplomasi. Secara  berproses melalui La Mangu dan putranya bernama Sao-Sao, utusan Belanda berhasil mendekati beberapa bangsawan Konawe. Pendekatan ini melahirkan suatu Perundingan Malowe pada tahun 1909.
Perundingan di Bandar Malowe ini menghasilkan penculikan beberapa tokoh terkemuka Kerajaan Konawe oleh Belanda, suatu tindakan yang kemudian mencetuskan Perang Puundombi.  Setelah melalui pertempuran yang menelan banyak korban dikedua belah pihak, Kerajaan Konawe akhirnya jatuh dan Belanda segera memperkuat eksistensi Kerajaan Laiwoi.
Belanda melakukan operasi sapu bersih di Wilayah Kerajaan Konawe, setelah mereka berhasil menaklukan kerajaan tersebut.  Dengan tipu muslihat, Belanda berhasil menangkap Watukila (Panglima Una) sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang Konawe. Watukila bersama sejumlah perwiranya kemudian dibuang ke Makasar.
Belanda berpendapat bahwa dengan ditawannya Watukila bersama pasukannya akan mengakhiri perlawanan rakyat Konawe. Dan dengan begitu tamat pula riwayat Kerajaan Konawe.  Pihak Belanda segera mewujudkan rencana lamanya untuk membentuk pemerintahan Kerajaan Laiwoi yang beribukotakan Kendari.  Mereka yang tidak mengakui dan tidak tunduk kepada penguasa Kerajaan Laiwoi dan Belanda, diancam akan ditangkap dan dipenjarakan.  Bahkan Belanda juga mengancam akan menjatuhkan hukuman tembak mati terhadap mereka yang membangkang.  Sementara itu untuk menunjukan niat baik Belanda kepada rakyat Konawe, Karaeng Watukila, dan rekan-rekannya kemudian dipulangkan dari tempat pembuangannya di Makasar. 
Belanda juga kemudian mengatur suatu “perkawinan politis” antara Watukila dengan putri Raja Laiwoi Sao-Sao.  Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk membuka jalan bagi suatu kerjasama antara tokoh tersebut dengan para penguasa baru di kerjaan Laiwoi. Namun demikian, perkawinan tersebut tidak meredakan situasi politik.  Gerakan menentang Belanda bahkan meluas ke daerah-daerah lainnya, terutama di Bagian Selatan Konawe.  Di Manumohewu, rakyat telah mempersiapkan kantong-kantong perlawanan dibawah pimpinan seorang tamalaki (perwira) bernama Lapadi, yang dibantu oleh putrinya.  Perlawanan Lapadi, dimulai pada tahun 1908 ketika dia tertangkap dalam suatu tipu muslihat yang dilancarkan oleh Belanda.
Lapadi berhasil meloloskan diri dari penjara Kendari dan kembali menyusun barisan perlawanan.  Namun pada tahun 1911 benteng pertahanannya dihancurkan oleh Belanda.  Lapadi sendiri berhasil meloloskan diri dan berpetualang di gunung-gunung sampai ia meninggal empat tahun kemudian akibat sakit.  Kematian tokoh-tokoh penting dalam gerakan perlawanan rakyat Konawe tidak membuat peperangan menentang penjajahan terhenti. Rakyat yang tersebar di berbagai pelosok Konawe terus mengangkat senjata berperang melawan meperintah kolonial Belanda.
Melalui tipu muslihat yang terus dilancarkan,  Belanda akhirnya berhasil menerapkan perjanjian Langeverklaring dengan bangsawan-bangsawan Konawe dan sejak saat itu Belanda mencampuri secara langsung urusan kerajaan.     Ketika Tekaka dilantik menjadi raja Laiwoi pada tahun 1934, sistem pemerintahan kerajaan ini disesuaikan dengan tata cara pemerintahan kolonial.  Keadaan ini berlangsung sampai Jepang mendarat di Kendari pada tanggal 24 Januari 1942 dan mengambil alih kekuasaan Belanda.
Pulau Sulawesi pada awal Proklamasi Kemerdekaan ditetapkan sebagai salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di dalamnya termasuk Sulawesi Tenggara, dengan nama Provinsi Sulawesi. Sebagai gubernur pertama pada awal pembentukan Provinsi Sulawesi di jabat oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangi.  Namun demikian, Pemerintahan Provinsi Su­lawesi di bawah pimpinan Dr. G.S.S.J. Ratulangi tersebut hanya berjalan sembilan bu­lan, karena pada masa tersebut terjadi kedatangan tentara Sekutu di kota‑kota penting di Indonesia termasuk di Makassar yang melucuti tentara Jepang.  Tentara Jepang yang me­nyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945, ternyata diikuti pula oleh pasukan Belanda dan tokoh‑to­koh NICA (Netherlands Indies Civil Administration).  Pejabat‑pejabat NICA membentuk pe­merintahannya dan bahkan beberapa waktu kemudian Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tang­gal 5 April 1946 kemudian di­asingkan ke Serui, Irian Barat (Papua).
Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangi pada saat itu dapat membaca suasana, sehingga sebelum ditangkap beliau masih sempat mengirimkan kurir untuk menyampaikan pesan-­pesan penting kepada tokoh‑tokoh pergerak­an di seluruh Sulawesi, termasuk ke daerah Sulawesi Tenggara.  Salah satu isi pesan yang penting adalah meminta seluruh masyarakat pribumi untuk tetap me­neruskan perjuangan mempertahan­kan kemerdekaan yang baru diraih tersebut. 
Sementara itu, Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia seperti sebelurn Perang Dunia II juga melakukan segala cara untuk meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena mereka menyadari bahwa untuk me­nguasai Indonesia seperti keadaan sebelumnya tidak mungkin sama sekali.  Salah satu strategi Belanda untuk kembali menguasai Indonesia adalah mencetuskan  gagasan pem­bentukan suatu negara federasi (se­rikat). Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook secara khusus ditugaskan untuk mensponsori Kon­ferensi Malino pada tanggal 15‑25 juli 1946 yang antara lain memutuskan bahwa Negara Indonesia nantinya ha­rus berbentuk federasi dan sebelurn ne­gara federal terbentuk, maka di dalam masa peralihan tersebut seluruh  ke­daulatan ada di tangan pemerintah Belanda.  Pemerintah kolonial Belanda terus melancarkan usaha­nya untuk memecah belah kekuatan negara Republik Indonesia.  Salah satu bentuk upaya mereka adalah mematangkan ke­putusan Konferensi Malino pada Konferensi Denpasar yang dise­lenggarakan pada tanggal 24 sampai 28 Desernber 1946. Dalam konferensi inilah dilahirkan Negara Indonesia Ti­mur (NIT) yang akan menjadi negara bagian dari Negara Indonesia Serikat yang akan didirikan.
Negara Indonesia Timur (NIT) sendiri, menurut pasal 14 peraturan pembentukannya (Staatblad 1946 no.143), terbagi atas 13 daerah yaitu Su­lawesi Selatan (Sulawesi Tenggara ter­masuk di dalamnya), Minahasa, Su­lawesi Utara, Sulawesi Tengah, Ke­pulauan Sangihe Talaud, Maluku Uta­ra, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Ti­mor dan pulau‑pulau Flores, Sumba­wa, dan Sumba.  Maka sejak terbentuknya Negara Indonesia Timur tersebut berakhir pulalah pemerintahan Propinsi Sula­wesi.
Kehadiran Negara Indonesia Ti­mur segera diketahui oleh tokoh‑to­koh pergerakan dan pejuang di Sula­wesi Tenggara sebagai negara boneka buatan Belanda, karena itu perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan Re­publik Indonesia di daerah ini tak per­nah berhenti. Sesudah terbentuknya NIT perjuangan menegakkan kemer­dekaan dilakukan pula melalui badan legislatif negara tersebut.
Sulawesi Tenggara resmi mendapatkan status sebagai provinsi daerah tingkat I pada tanggal 22 September 1964, berdasarkan Undang‑undang Nomor 13/1964, dengan pusat pemerintahan di Kendari. Wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan‑Tenggara (Sulselra) yang dibentuk pada tahun 1960 dengan. Undang-undang Nomor 47/ Prp/ 1960.  Seperti halnya pemerintahan daerah di provinsi lain di Pulau Sulawesi, sejarah pemerintahan di Sulawesi Tenggara mencatat beberapa kali perubahan. Gubernur J. Wajong sebagai Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Tenggara pertama hanya memegang jabatan selama satu tahun, karena kemudian beliau digantikan oleh Laode Hadi pada tahun 1965.
Keberhasilan strategi awal Jepang ini dapat terlihat pada saat melakukan pendaratan awal, pada tanggal 24 Januari 1942 di Kota Kendari dari tiga jurusan. Pasukan pertama, mendarat di Tombawatu yang terletak di Muara Sampara (muara sungai Konaweeha) di pantai timur sebelah Barat Laut Kota Kendari pada jam 03 subuh. Pasukan kedua mendarat langsung di pasar Kendari pada jam 7 pagi bersamaan dengan pendaratan pasukan ketiga di Talia diseberang Teluk Kendari.
Pasukan pertama berjalan kaki ke arah Selatan melalui kampung Meraka dan sampai di Punggolaka (9 km dari Kota Kendari ke arah Wawotobi dam Kolaka) pada jam 11.00 siang. Sesampai di daerah ini mereka langsung menembak mati seorang Pendeta berkebangsaan Belanda (Pdt. Gouwelous) dan menangkap La Sandara Kapita Kerajaan Laiwoi. Dari Punggolaka pasukan ini meneruskan perjalanan ke Mandonga dan menyerang Asrama Tentara Belanda yang ada ditempat tersebut, namun asrama tersebut ternyata telah kosong karena tetara belanda yang ada di asrama tersebut telah lari bergabung dengan teman-teman mereka yang membuat pertahanan di Lepo-Lepo. Setelah makan siang di Mandonga, pasukan jepang tadi meneruskan perjalanan menuju ke pangkalan Udara Kendari II. Namun pasukan ini dapat ditahan oleh pasukan pertahanan Belanda di Lepo-Lepo melalui pertempuran sengit yang berlangsung hingga sore hari. Pasukan Jepang baru berhasil menembus pertahanan Belanda setelah mendapat bantuan dari Pasukan jepang yang mendarat di pasar Kendari yang juga mendapat perlawanan dari tentara Belanda yang bertahan di Punggaloba.
Pada tanggal 26 Januari 1942, tentara Jepang telah berhasil menguasai seluruh Kota Kendari, Lapangan Udara Kendari II dan sekitarnya. Sesudah itu mereka mulai mengatur Pemerintahannya. Raja Laiwoi, Tekaka, dan Kapita Lasandara yang telah menyatakan diri takluk kepada jepang segera diangkat sebagai Raja I dan Raja II.
Setelah mengangkat Tekaka sebagai Raja I Laiwoi dan Lasandara sebagai Raja II, maka langkah selanjutnya adalah membangun benteng-benteng pertahanan di Kota Kendari dan Lapangan Udara Kendari II dan sekitarnya.. Lapangan udara Kendari II ditingkatkan fungsinya sebagai lapangan udara Militer dengan membangun kubu-kubu pertahanan yang kuat  disekelilingnya.
Dari Kendari, pasukan Jepang  terus ke Ambon dan berhasil mendudukinya pada tanggal 1 Februari 1942.  Bau-Bau  di pulau Buton diduduki oleh Jepang pada bulan Juni 1942, tetapi belum ada pasukan khusus yang ditempatkan di sana.
Walaupun Jepang dalam mengatur pemrintahan sipil di Sulawesi Tenggara, jabatan Ken Kenkarikan dan Bunken  Kanrikan dijabat oleh orang Jepang sedangkan Gunco  dan Sunco dijabat oleh orang Indonesia, tetapi yang menonjol pada rakyat dlaam system pemerintahannya adalah “kekuasaan” dan kekerasan” militer. Semua perintah jepang diarahkan kepada kepentingan perang untuk mencapai kemenangan melawan tentara sekutu.
Mereka yang bersedia itu diorganisir dalam organisasi SEINENDAN dan HEIHO yang diberikan latihan militer dengan penuh semangat kemiliteran Jepang oleh tentara Jepang. Di Kendari jumlah tenaga HEIHO yang dibentuk oleh Jepang, pada tahun 1943 berjumlah 400 orang dipimpin langsung Jepang danseorang Indonesia yang bernama POLEMBASI dengan pangkat Tokubetsi (Kopral).
Peristiwa ini terjadi beberapa bulan sebelum berakhirnya Perang Asia Timur Raya dan ini berdasarkan instruksi langsung dari Pimpinan Tertinggi Militer Jepang di Jakarta, beberapa hari setelah terbentuknya Badan Penyidik Persiapan Kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan “Dokuritsu Jumbi Coosakai” di Jakarta. Di Sulawesi Tenggara, pemberitahuan janji kemerdekaan Indonesia ini disusul dengan pembentukan “Gerakan Kebangunan Rakyat” disingkat GKR, di Kolaka, Kendari, Buton, dan Muna. GKR yang mula-mula dibentuk di Sulawesai Tenggara atas restu diam-diam dari Jepang adalah GKR Kolaka yang diketuai oleh M. Yusri, Sekretaris CH. Pingak dan Penasihatnya Kabasima Taico (orang Jepang).
Pemerintah Jepang di Indonesia akhirnya dapat dilewati dengan penuh pengalaman pahit setelah Jepang secara resmi menyatakan takluk kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Sebelum kekalahan tersebut tiba secara resmi, seperti yang telah dikemukakan di atas, Jepang sesungguhnya telah menyadari bahwa mereka pada akhirnya akan berada di pihak yang kalah. Dalam keadaan ini tampak sekali perubahan sikap Jepang terhadap masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam saat-saat akhir kekalahan mereka secara terang-terangan mengambil hati rakyat dan bangsa Indonesia bahkan secara terus terang pula mereka “memberitakan” kekalahannya dalam perang. Pada saat-saat inilah (terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan sebelum pendaratan Tentara Sekutu (Australia-NICA) secara diam-diam Jepang telah memberi bantuan dan dorongan kepada para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan dan melawan Belanda.
Di Wawotobi kota kedua terbesar di Kerajaan Laiwoi dan tempat kediaman Raja II Laiwoi (Kapita Lasandara) Sang Merah Putih dikibarkan oleh para pemuda setempat atas dorongan para Pemuda Kolaka dan Luwu yang tiba di daerah tersebut. Dalam pengibaran Bendera Merah Putih tersebut hadir dalam upacara :
-     Raja II Laiwoi, La Sandara
-     Saido Djohansyah;
-     M. Djamil Muchsin;
-     Assadiq Mekoa;
-     Hamzah (Turunan Arab)
-     Toetakai Jepang (Ninomia Hiso)
-     Sejumlah pemuda dan rakyat Wawotobi.
Sejak pengibaran Bendera Merah Putih tersebut, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1945, maka sejak itu daerah Wawotobi disekitarnya dinyatakan pula sebagai Wilayah RI.
Agak berbeda halnya dengan pengibaran Bendera Merah Putih di Kota Kendari, tempat kediaman Raja Laiwoi  (Tekaka) . Di kota Kendari pengibaran bendera Merah Putih tidak dapat dilaksanakan oleh para pemuda karena Raja Tekaka merasa takut dan secara diam-diam meninggalkan kota Kendari sehingga tidak dapat dihubungi sehingga para pemuda mengambil jalan pintas menempel bendera Merah Putih diberbagai sudut kota Kendari, dipimpin oleh Mahaseng.
Ketakutan Raja Tekaka untuk mengibarkan Bendera Merah Putih secara resmi di Kota Kendari karena ada keberatan dari Komando Tentara Jepang di Kendari yang menerima perintah dari sekutu (Australia dan NICA) agar Tentara Jepang di Kota Kendari tetap menjaga keamanan dan memelihara keadaan “Statusquo”. Hal inilah yang menyulitkan Raja Tekaka termasuk Tentara Jepang yang sebelumnya sudah sepakat untuk melaksanakannya melalui suatu rapat yang diadakan di rumah Andi Baso yang dihadiri oleh :
-     Raja Tekaka;
-     Utusan Jepang, Sibata Heiso;
-     Makmun Dg. Mattiro;
-     Ismail Dg. Mancigi;
-     Abdul Razak Dg. Silasa;
-     Arsyad Thayeb;
-     Mahaseng;
-     Danu Hasan;
-     M.Y. Tanukila, dll.
          Namun sehari sebelum kedatangan Tentara Australia dan NICA, Bendera Merah Putih dapat juga dikibarkan atas prakarsa Supu Yusuf yang datang dari Kolaka, setelah berhasil menemui Raja Tekaka di Istananya. Tapi pengibaran Merah Putih dilaksanakan didepan rumah Raja II Lasandara.
Menurut Hj. Mieke Anas Bunggasi dalam Forum Seminar Sejarah Kota Kendari tanggal 14 Juni 2006, bahwa sesungguhnya Raja Tekaka menyetujui untuk pengibaran bendera merah putih, namun karena adanya kesepakatannya dengan beberapa raja untuk bersikap hati-hati dalam menerima informasi tentang kemerdekaan Republik Indonesia, maka secara diam-diam Raja Tekaka merestui pengibaran bendera merah putih, namun beliau meminta untuk tidak berada di tempat pada saat dikibarkan dan karena itulah pada saat pengibaran bendera Merah Putih beliau meninggalkan rumah menuju ke laut memancing yang merupakan salah satu hobi beliau.
Dalam PKR ini tergabung semua bekas Tentara KNIL, HEIHO dan pemuda dari Kampung-Kampung. Mereka semua diberi latihan kemiliteran di Silea, Kolaka. Pada tanggal 28 oktober 1945, utusan PRI Luwu yang dipimpin oleh Andi Ahmad, H.M. Sanusi Dg. Mattata; dan Suleman Umar mengunjungi Wawotobi dan berhasil menghimpun tokoh-tokoh Pemuda di Wawotobi sekaligus menemui Raja II Laiwoi Lasandara. Hasil kunjungan ini, yang kemudian disusul oleh utusan PRI Kolaka yang dipimpin oleh : Supu Yusuf, M. Djufri dan A. Madjid Yunus, Pemuda-pemuda Wawotobi menyatakan diri mengga-bungkan diri ke dalam PRI Kolaka sekaligus membentuk wadah perjuangan yang disebut Pemuda Sinar Konawe, yang dipimpin oleh Muhsin.     
Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda rakyat Andoolo ini kemudian menjelma menjadi PKR Andoolo yang tetap dibawah pimpinan M. Ali Silondae.
Pemimpin-pemimpin perjuangan Kemerdekaan di Kendari Selatan (Andoolo) adalah :
-     Nuhung Silondae;
-     Ali Silondae;
-     Abdullah Silondae;
-     Jacob Silondae;
-     Aburaera Silondae;
-     Mahadi Tongasa;
-     A. Parenrengi;
-     Saiman;
-     Saradia (V. Bolo)

B.   Perlawanan Fisik Rakyat  Konawe Menentang Nica Belanda

Setelah Jepang menyerah pada sekutu maka Sujlawesi yang sebelumnya menjadi kekuasaan Armada kedua Selatan dari Angkatan Laut Jepang, menjadi wilayah pendudukan tentara Australia. Sebagai tentara pendudukan yang bertugas mengambil alih kekuasaan dari Jepang, maka tentara Australia langsung memasuki Ujung Pandang pada tanggal 23 September 1945 yang saat itu merupakan pusat pendudukan Jepang di Indonesia Bagian Timur. Dari Ujung Pandang tentara Australia menyebar ke Kendari pada awal bulan November 1945.
Pada zaman pendudukan Jepang sistem dualisme pemerintahan Hindia Belanda tetap dipertahankan dimana Zelfbestuur atau kerajaan tetap ada di samping pemerintahan Jepang. Kendari yang pada saat itu sebagai pusat Kerajaan Laiwoi merupakan Bunken. Setelah Jepang menyerah, maka pemerintahan sipil secara otomatis hilang, sehingga sistem Bunken dengan sendirinya tidak ada. Kendari langsung diperintah oleh Raja Laiwoi (Raja I pada zaman Jepang). Pada awal berdirinya Republik Indonesia, Sulawesi Tenggara diperintah oleh 2 Raja (Sultan Buton dan Raja Laiwoi) dan 2 kepala pemerintahan setempat (Muna dan Kolaka). Kekalahan Jepang dan kekacauan suasana membawa keadaan yang tidak menentu, apalagi setelah diterimanya oleh rakyat dan pemuda pejuang tentang berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Keadaan tidak menentu membawa sikapp ragu-ragu dan menunggu perkembangan yang di bawa oleh sekutu sebagai pemenang perang.
Yang lebih menarik lagi dari mendaratnya tentanra Australia di Kendari disertai oleh aparat NICA (Nederlands Indies Civil Administration) yang telah siap mengambil alih pemerintahan sipil yang ditinggalkan oleh Jepang dan juga ternyata yang muncul sebagai pemimpin Tentara NICA ialah Kapten WOLHOLF, bekas Controleur Belanda sebelum Perang Dunia ke II. Karena itu segera ia menghubungi Raja Kendari (Tekaka) dan dalam waktu relatif  singkat ia berhasil menarik sejumlah aparat Pamongpraja di Kendari untuk kembali menegakkan kekuasaan belanda. Bekas-bekas KNIL segera dipanggil dan dipersenjatai kembali. Tindakan WOLHOLF tersebut sengaja didiamkan oleh Australia dengan dalih bahwa Australia tidak mencampuri urusan yang menyangkut pemerintahan.
Kehadiran Tentara NICA di Sulawesi Tenggara ini cukup menyulitkan para pejuang kemerdekaan Sulawesi Tenggara terutama karena dalam waktu relatif singkat Belanda dapat berhasil menarik hampir keseluruhan aparat pamongpraja di kendari, Buton dan Muna untuk berpihak kepada NICA, terkecuali Pemerintah Kolaka, yang dengan tegas menolak kehadiran Tentara NICA diwilayahnya.
Sementara di daerah-daerah lain seperti di Andoolo, Kendari dan Muna serangan balik dari para pejuang PKR setempat juga semakin ditingkatkan, namun karena ternyata pasukan NICA jauh lebih kuat akhirnya secara terpaksa banyak para pejuang PKR mulai meninggalkan Sulawesi Tenggara ke Sulawesi Selatan atau ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI.
Pada saat itu diantara sekian banyak pemuda yang berangkat berjuang di Jawa ialah :
-     Andi Punna;
-     Abu Baeda;
-     Hamzah pangerang;
-     Edy Sabara;
-     Hamid Langkosono;
-     Husen Sosidi;
-     Dan lain-lain,
Sedangkan yang menuju Sulawesi Selatan adalah :
-     Abdul Madjid Yunus;
-     M. Alwi kamry,
-     Dan Lain-lain
Konfrensi Malino yang diprakarsai Belanda ternyata berhasil mematangkan pembentukan NIT melalui Konfrensi Denpasar yang dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1946. Jika dalam Konfrensi Malino, Sulawesi tenggara diwakili oleh Sultan Buton (La Ode Falihi), maka pada Konfrensi Denpasar Sulawesi Tenggara dalam utusan Sulawesi Selatan, diwakili Lasandara (Kapita Laiwoi, Kendari).
Konfrensi Denpasar berhasil menelorkan Negara Indonesia Timur (NIT) sekaligus menetapkan Dewan perwakilan Rakyat Sementara NIT yang beranggotakan 70 orang dari utusan daerah-daerah. Salah seorang yang duduk dalam Dewan tersebut (mewakili Sulawesi Tenggara) adalah Kapita Lasandara.

3 komentar:

  1. Terima kasih banggona,,atas infonya masalah sejarah singkat kerajaan Konawe,,,terus saja kita orang konawe,,,buta betul masalah sejarah kerajaaan konawe,,,,

    BalasHapus
  2. bagus sekali. Bisa izin copy ya?

    BalasHapus
  3. Terimakasih atas tulisannya, boleh minta referensi dan sumbernya ?
    Kalau berkenan silahkan kirim ke: mfadilriyanto@gmail.com

    Untuk kepentingan penelitian. Atau sekedar memgobrol saja perihal sejarah sulawesi tenggara. Terimakasih banyak

    BalasHapus